Guru di SMAN 9 Kota Bekasi yang tertarik menulis di Kompasiana. Penulis reflektif, dan pengamat kehidupan sosial sehari-hari. Menulis bagi saya adalah cara merekam jejak, menjaga kenangan, sekaligus mengolah ulang pengalaman menjadi gagasan yang lebih jernih. Saya tumbuh dari kisah pasar tradisional, sawah, dan gunung yang menjadi latar masa kecil di Cisalak-Subang. Kini, keseharian sebagai guru membuat saya dekat dengan cerita murid, dunia pendidikan, serta perubahan sosial yang terjadi di sekitar kita. Di Kompasiana, saya banyak menulis tentang: pendidikan yang manusiawi, dinamika sosial budaya, kenangan kecil yang membentuk cara pandang, serta fenomena keseharian seperti kafe, pasar, hujan, dan keluarga. Saya punya prinsip tulisan yang baik bukan hanya menyampaikan pendapat, tetapi juga mengajak pembaca berhenti sejenak untuk merenung, tersenyum, atau tergerak untuk berubah.
Pendahuluan
Dalam ritme kerja yang kadang terasa memburu, kami di kantor mencoba menjaga satu tradisi kecil yang berarti: Makan bersama di luar. Bukan soal mewah atau menu istimewa, tapi tentang waktu yang kami sisihkan untuk duduk bersama, tertawa, dan saling bercerita tanpa tekanan pekerjaan.

Beberapa bulan lalu, kami sempat berkumpul di Saung Mang Ujang Cianjur, sebuah tempat makan bernuansa Sunda di Setu, Bekasi. Sore tadi, giliran Tapak Djati yang menjadi tujuan kami berikutnya.
Tempatnya tak jauh dari kantor, berada di ujung pertigaan Jalan Ciberem, Mustikajaya, Kota Bekasi. Lokasinya asri, bersih, dan nyaman dikelilingi pepohonan dan suasana alami yang jarang kami temui dalam keseharian. Saat pertama tiba, saya langsung merasa ini bukan tempat makan biasa. Ada keheningan yang menenangkan, ada jeda yang ditawarkan.
Sebagaimana kebiasaan saya setiap kali mengunjungi tempat baru, barometer kenyamanan saya adalah toilet. Sederhana, memang. Tapi saya percaya bahwa tempat yang memperhatikan kebersihan toilet biasanya juga peduli pada kenyamanan pengunjung. Dan sore itu, saya bersyukur toilet Tapak Djati bersih dan terawat. Apalagi karena bertepatan dengan waktu Ashar, saya pun menyempatkan diri untuk salat di mushallanya yang juga tak kalah nyaman.

Usai salat, saya berkeliling sebentar menikmati suasana sekitar. Angin sore yang lembut, suara tawa rekan-rekan yang mulai berdatangan, dan nuansa hijau yang menyegarkan membuat saya merasa... hidup. Ada sesuatu yang sederhana namun menyentuh dalam momen-momen seperti ini.
Tak lama kemudian, kami pun berkumpul dan mulai menyantap hidangan. Obrolan pun mengalir: Mulai dari cerita ringan, canda khas antar teman kerja, hingga kilasan nostalgia. Di antara piring dan gelas, kami berbagi tawa. Kami berbagi waktu.
Hari itu, Tapak Djati menjadi tempat sebuah kenangan. Ia menjadi tapak, jejak kecil kebersamaan yang akan kami kenang sebagai bagian dari perjalanan kami sebagai satu keluarga kerja.