Menjadi seniman tradisional itu memang boleh dikatakan ngenes. Entah ngenes itu kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kata yang tepat apa.
Bagaimana tidak ngenes dalam sebuah penampilan di desa atau kecamatan, seorang wiyaga atau pengrawit atau penabuh gamelan paling banter seratus ribu rupiah. Sinden dua ratus ribu rupiah. Ki dalang agak lumayan tiga ratus ribu rupiah.
Pas kalau ada tanggapan wayang kulit agak lumayan honornya. Bisa ditambah masing-masing seratus ribu rupiah. Tapi tenaga yang dikeluarkan semalam suntuk jauh lebih banyak. Bahkan untuk memulihkan atau menyegarkan kembali perlu waktu dua hari. Sehingga kadang pekerjaan utama harus dikorbankan dengan cuti atau libur kerja bagi mereka yang bekerja harian lepas. Hanya 'passion' saja yang bisa memberi semangat.
Mata sepet pingin tidur, si panjak tetap harus menggebu-gebu untuk nabuh kendang. Para sinden harus melantunkan dengan merdu. Tak peduli yang nonton mulai sepi.
Makanya hargailah mereka eh kami. Jangan dipleroki ya..... Kalau dia ngambeg.... Kalau mereka ngambeg... Kalau kami ngambeg... Kalau istriku ngambeg... Kalau saya ngambeg... Malam-malam jadi sepi lho.