Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menapak Tilas Keberadaan Situs Kendedes dan Kampung Budaya Polowijen

14 Januari 2020   05:58 Diperbarui: 15 Januari 2020   17:13 1076 17 4


Saya mengakui masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan kner kawakan ini; Arema Ngadas alias Mbah Ukik. Betapa tidak. Beliau sudah lebih dulu menuliskan situs Kendedes ini pada tahun 2013. 

Artikelnya bisa disimak di sini.

Namun tidak ada salahnya jika saya kembali menuangkannya, tentu dalam versi yang berbeda seiring dengan perkembangan yang terjadi di sekitar situs bersejarah tersebut.

Bermula dari ketertarikan membaca dan mendengar kisah cinta melegenda antara Ken Dedes dan Ken Arok, sedikit banyak mempengaruhi beberapa ide cerpen yang pernah saya tulis di Kompasiana, di antaranya: Air Mata Kendedes, Ranjang Berdarah, dan Rembulan yang Terluka

Sejak saat itu rasa keingintahuan tidak terbendung lagi. Tidak cukup kiranya jika saya hanya membaca buku sejarah atau sekadar mendengar kisah secara getok tular semata. Sekalipun menulis fiksi adakalanya kita harus melakukan riset atau investigasi.

Maka ketika waktu itu ada, bergegaslah kaki ini melangkah menyusuri jalanan sesuai dengan panggilan hati. Menapak tilas peninggalan bersejarah yang berhubungan dengan Ken Dedes dan Ken Arok (untuk napak tilas situs Ken Arok akan saya tulis di artikel berikutnya).

Situs petilasan Ken Dedes. Foto dokpri
Situs petilasan Ken Dedes. Foto dokpri
Berangkat sekitar pukul 09.00 WIB, Senin 13 Januari 2020, sampailah saya di Desa Polowijen. Yang dahulu dikenal sebagai Desa Panawijen. Tidak terlalu sulit menemukan desa tersebut. Karena memang letaknya cukup dekat dari tempat tinggal saya dan lokasinya juga sangat mudah dijangkau.

Seperti yang pernah dituturkan oleh Mbah Ukik, situs tersebut ketika saya datangi masih belum berubah keadaannya. Sumur Windu, Watu Dakon, Watu Kenong dan beberapa batu prasasti lainnya masih ajeg berada di antara rerimbunan semak dan pepohon di samping Makam Islam Kelurahan Polowijen. 

Kedatangan saya pagi itu disambut ramah oleh Bapak-bapak penjaga situs. Kami pun mengobrol panjang lebar. Membicarakan seputar Kerajaan Singasari dan situs-situs peninggalanya. Sangat menarik. 

"Mengenai upaya pelestarian situs Ken dedes ini, semua dikerjakan secara swadaya. Murni gotong royong masyarakat sekitar," tutur Mas Jubair selaku perwakilan penjaga situs. Saya mengangguk paham. Sembari dalam hati berharap semoga pemerintah setempat ikut tergerak membantu dan mengapresiasi keberadaan situs yang tak ternilai harganya ini. 

Bersama penjaga situs duduk di atas Sumur Windu yang sudah ditutup. Foto dokpri
Bersama penjaga situs duduk di atas Sumur Windu yang sudah ditutup. Foto dokpri
Watu Dakon. Foto dokpri
Watu Dakon. Foto dokpri
Watu Kenong. Foto dokpri
Watu Kenong. Foto dokpri
Kemunculan Kampung Budaya Polowijen 

Hal yang unik sekaligus menarik, saat memasuki kawasan menuju situs petilasan Ken Dedes yang berada di samping makam Islam tersebut adalah, saya harus melintasi sebuah perkampungan sederhana yang berderet di sepanjang pinggiran sungai kecil. Yang dihuni oleh kisaran 15 keluarga.

Kampung kecil itu menjadi sangat terkenal dan istimewa karena pada tanggal 2 April 2017 lalu telah diresmikan oleh Walikota Malang sebagai Kampung Sentra Budaya.

Foto dokpri
Foto dokpri
Peresmian tersebut bukan tanpa sebab. Selain adanya situs bersejarah yang banyak ditemukan di sana, Desa Polowijen sejak zaman penjajahan Belanda terkenal sebagai desa yang memiliki kebudayaan yang tinggi. Dari desa ini bermunculan empu-empu kriya, ahli pembuatan gerabah, ahli pembuatan topeng Malangan dan gudangnya para penari tradisional.

Pencanangan predikat tersebut diharapkan bisa memberi support bagi masyarakat Polowijen dan sekitarnya untuk terus menjaga kelestarian warisan budaya leluhur. Serta menjadikan Kampung Budaya Polowijen sebagai salah satu andalan destinasi wisata yang ada di Kota Malang sehingga mampu membangkitkan ekonomi kreatif yang ada di dalamnya.

Ada banyak harapan disematkan pada Kampung Budaya Polowijen ini. Utamanya sebagai kampung percontohan dan pembelajaran.

Seni kerajinan topeng di Kampung Budaya Polowijen. Foto dokpri
Seni kerajinan topeng di Kampung Budaya Polowijen. Foto dokpri
Ketika saya melintasi jalanan kecil di sepanjang perkampungan, rasa kagum membuncah memenuhi ruang dada saya. Apalagi saat melihat warga guyub bergotong royong mengadakan pembenahan di sana-sini. Dan tampak pula warga kampung bekerja dibantu oleh para mahasiswa dari Universitas Malang yang tengah mengadakan KKN. 

Kesibukan kian marak ketika atap-atap yang terbuat dari welit diturunkan.  Rupanya para mahasiswa sedang mempersiapkan panggung untuk perhelatan akbar dalam rangka penutupan KKN yang rencananya akan digelar pada tanggal 26 Januari 2020 mendatang.

Deretan gazebo di sekitar Kampung Budaya Polowijen. Foto dokpri
Deretan gazebo di sekitar Kampung Budaya Polowijen. Foto dokpri
Akhirnya, seperti biasa, sembari melenggang riang sebelum pulang, tangan ini sibuk mengabadikan momen indah yang terpampang di depan mata. Deretan topeng, gazebo, rumah-rumah khas pedesaan, sungguh, terlalu sayang untuk diabaikan.


***

Malang, 14 Januari 2020

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2