Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com
Di berbagai kesempatan di kendaraan umum, Kerensa Dewantoro sudah hapal, pertanyaan apa saja yang diajukan orang kepadanya. Mulai dari sudah berapa lama di sini, kerja apa, gajinya berapa, dan seterusnya. Ketika Kerensa Dewantoro menjawab dengan Bahasa Indonesia, pertanyaan pun berlanjut. Misalnya, kok bisa Bahasa Indonesia, belajar dari siapa, dan berapa lama belajarnya.
Artinya, Kerensa Dewantoro tetap diposisikan sebagai sosok yang asing, yang dengan leluasa ditanyai ini-itu, meski sama-sama berada di kendaraan umum. Nah, begitu Kerensa Dewantoro menjelaskan bahwa ia sudah makan jengkol dan sangat doyan makan jengkol ... byaaaar suasana langsung cair. Pembicaraan bukan lagi berbentuk tanya-jawab, tapi langsung berubah menjadi percakapan. Menjadi akrab. Topik yang diperbincangkan pun berkembang menjadi beragam.
Kalau sudah demikian, Kerensa Dewantoro baru merasa dianggap sebagai orang, sebagai manusia pada umumnya. Situasi seperti itu kerap dialami Kerensa Dewantoro dan selalu berulang demikian di berbagai kesempatan di berbagai kota. Karena berbagai pengalaman itulah, Kerensa Dewantoro menilai bahwa jengkol adalah bagian dari simbol kemanusiaan. Salah satu simbol penting, yang membuatnya dianggap serta diperlakukan sebagai manusia pada umumnya.
Tak hanya disimpan sebagai pengalaman hidup, Kerensa Dewantoro kemudian mengolah pengalaman itu secara kreatif menjadi naskah drama. Oh, ya, Kerensa Dewantoro adalah seorang guru drama, selain sebagai penari topeng dan peneliti kebudayaan. Ia juga memimpin sebuah grup bernama Teater Darah Rouge. Bersama grup ini, jengkol dan kemanusiaan diolah secara kreatif.
Beberapa waktu lalu, Kerensa Dewantoro mengusung jengkol dan kemanusiaan ke dalam pentas teater di Le Seminyak, sebuah cafe di Ruko Dharmawangsa, Jakarta Selatan. Judulnya, Jengkol Jangan Jengkel. Sebelumnya, Jengkol Jangan Jengkel juga sudah dipentaskan di beberapa tempat lain. Video yang saya tampilkan ini berasal dari pementasan di Le Seminyak tersebut.
Saya terkesan dengan pementasan Kerensa Dewantoro. Menurut saya, pilihan jengkol sebagai simbol kemanusiaan, cukup tepat. Selain dikenal di berbagai wilayah tanah air, beragam makanan berbahan jengkol relatif disukai banyak orang. Di samping itu, sebagai bule Australia, ia menunjukkan bahwa dengan mengonsumsi makanan rakyat, maka dengan leluasa ia berinteraksi dengan rakyat. Dalam hal ini, dengan warga pengguna kendaraan umum.
Simbolnya jelas. Pesan kemanusiaannya juga jelas. Intinya, simbol jengkol dikemas secara kreatif untuk membangun komunikasi antar sesama. Ini adalah langkah awal bagi tumbuhnya sikap toleran antar sesama. Secara substansial, topik toleransi ini menurut saya masih tetap hit, untuk terus-menerus diangkat serta disuarakan ke publik. Kenapa? Karena, toleransi adalah PR besar manusia, agar bumi ini menjadi lebih damai untuk dihuni.