Hobinya berfikir, menulis, berkata dan melakukan apa yang telah dikatakan...

Di Rest Area KM 45 --- Ketika Waktu Mengajari Kita untuk Berhenti
Perjalanan dari Merak menuju Jakarta selalu punya cerita yang tak pernah sama.
Hari itu, matahari berdiri tepat di atas kepala.
Asap tipis dari knalpot kendaraan menari di udara panas, dan sinar matahari menimpa kaca mobil seperti bara yang perlahan menggerogoti pandangan.
Sudah berjam-jam kami di jalan.
Setelah melewati tol panjang dan bising, akhirnya kami memutuskan menepi di Rest Area KM 45.
Papan besar bertuliskan angka itu terasa akrab --- entah sudah berapa kali kami berhenti di sini setiap kali melewati rute Merak--Jakarta.
Tempat yang selalu sama, tapi suasananya selalu membawa perenungan yang berbeda.
Berhenti untuk Menyapa Waktu
Jam di dashboard menunjukkan pukul 12.07.
Waktu Dzuhur baru saja masuk.
Langit biru perlahan berpendar menjadi putih keperakan, tanda siang sudah matang.
Kami turun dari mobil, membawa rasa lelah dan debu perjalanan.
Udara panas menampar wajah, tapi dari kejauhan suara adzan terdengar merdu dari mushola kecil di tengah rest area.
Suara itu seperti panggilan lembut yang menembus riuh jalan tol, mengingatkan kami bahwa ada "rumah kecil" di tengah kesibukan dunia ---rumah bernama waktu sholat.
Kami melangkah perlahan ke arah mushola.
Di sana, wangi sajadah bercampur aroma sandal basah dan lantai berubin yang sedikit hangat tersentuh matahari.
Beberapa pengendara lain juga datang, sebagian masih mengenakan jaket, sebagian menenteng botol air.
Semua tampak sama: lelah oleh jalan, tapi damai oleh panggilan Tuhan.
Sholat di Tengah Perjalanan
Tak ada yang istimewa dalam gerakan sholat itu.
Tapi justru dalam kesederhanaan gerak dan keheningan doa, aku menemukan sesuatu yang lebih besar dari sekadar ibadah ---
aku menemukan ketenangan untuk menata ulang langkah.
Di tengah dunia yang selalu bergerak cepat,
mampu berhenti sejenak untuk menundukkan diri adalah bentuk kemenangan kecil yang jarang disadari.
Setelah salam terakhir, aku duduk sejenak di pojok mushola, menatap keluar jendela.
Mobil-mobil melintas, orang-orang berjalan cepat, semua seperti berlomba dengan waktu.
Tapi di sini, di ruangan kecil yang sejuk ini, waktu terasa berhenti --- dan dalam keheningan itulah aku sadar, bahwa perjalanan panjang tak hanya butuh bensin dan arah,
tapi juga doa dan jeda.
Makan Siang dan Kenangan
Usai sholat, kami duduk di warung sederhana di tepi rest area.
Sepiring nasi hangat, sambal, dan tahu goreng menjadi teman makan siang kami.
Tak ada yang mewah, tapi semuanya terasa lezat --- mungkin karena kami makan dengan tubuh yang lelah dan hati yang bersyukur.
Aku memandangi sekitar:
sepasang suami-istri tua makan berdua tanpa banyak bicara;
sekelompok sopir truk tertawa sambil bercanda;
anak kecil memegang tangan ayahnya, memohon dibelikan es krim.
Di rest area ini, aku seperti melihat miniatur kehidupan.
Semua orang datang dan pergi, berhenti sebentar, lalu melanjutkan perjalanan.
Seperti hidup --- setiap orang punya jalan, punya waktu berhenti, dan punya arah untuk kembali.
Berhenti Bukan Berarti Kalah
Ketika kembali ke mobil, aku menatap langit sebentar.
Matahari mulai condong ke barat, cahayanya menembus kaca depan dengan lembut.
Aku menarik napas panjang, dan entah mengapa hati terasa lebih ringan.
Kadang kita terlalu sibuk mengejar tujuan, sampai lupa menikmati perjalanan.
Kadang kita takut berhenti, padahal dalam berhenti itulah kita menemukan makna.
Berhenti bukan berarti menyerah, tapi memberi ruang bagi jiwa untuk bernafas dan bersyukur.
Rest area bukan hanya tempat istirahat bagi tubuh, tapi juga ruang hening bagi hati ---tempat di mana waktu tidak mengejar, tapi memeluk.
Epilog: Jalan dan Doa yang Tak Pernah Usai
Ketika mobil kembali melaju meninggalkan KM 45, aku melirik spion belakang --- papan rest area itu perlahan mengecil, tapi hatiku masih tertinggal di sana, di antara sajadah, suara adzan, dan kepulan nasi hangat.
Setiap perjalanan selalu memberi pelajaran.
Dan hari itu, pelajarannya sederhana tapi dalam:
"Berhentilah sesekali.
Karena dalam diam yang sebentar, Tuhan sedang mengajarkan banyak hal yang tak bisa kau dengar saat kau terus melaju."
Mobil kembali menyatu dengan arus jalan tol.
Namun kali ini, kecepatan terasa lebih tenang,
karena di dalam dada, ada dzuhur yang baru saja membersihkan lelah, dan doa yang menuntun arah.
"Hidup bukan tentang siapa yang paling cepat sampai, tapi siapa yang paling peka saat Tuhan memanggilnya untuk berhenti."