Wijaya Kusumah
Wijaya Kusumah Guru

Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Video Pilihan

Pengalaman Mengecewakan Mengurus TPG atau Sertifikasi Guru di Kemdikdasmen

20 Oktober 2025   14:09 Diperbarui: 20 Oktober 2025   15:44 185 5 4

Omjqy guru blogger Indonesia/dokpri
Omjqy guru blogger Indonesia/dokpri

Pengalaman Mengecewakan Mengurus Sertifikasi Guru di Gedung D Kemdikbud

Oleh: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay)
Sekjen IGTIK PGRI & Guru Blogger Indonesia

Hari itu, Senin 20 Oktober 2025 pukul 13.00 wib saya datang dengan semangat dan harapan besar ke kompleks Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Sekarang namanya kemdikdasmen.

Tujuan saya sederhana: menanyakan status sertifikasi guru atau Tunjangan Profesi Guru (TPG) yang hingga kini belum valid. Sebagai guru yang sudah lama mengabdi dan aktif membimbing rekan sejawat di berbagai daerah, tentu saya ingin memahami secara langsung di mana letak kendalanya.


Langkah pertama saya mulai dari Gedung C, tepatnya di bagian Inisiasi Pelayanan Terpadu Kemdikdasmen. Petugas di sana cukup ramah dan informatif. Setelah memeriksa data, mereka mengatakan bahwa urusan sertifikasi guru dan validasi TPG sekarang sudah dialihkan ke Gedung D lantai 16, tepatnya di bagian yang membidangi guru dan tenaga kependidikan. Dengan penuh semangat, saya pun berjalan menuju gedung tersebut.

Namun, semangat itu mulai menurun ketika saya sampai di sana.

Sesampainya di Gedung D lantai 16, suasananya tampak sepi. Tidak ada petugas di meja pelayanan. Yang menyambut saya justru Pak Wahyu, seorang satpam yang kebetulan berjaga di depan lift. Dengan ramah, ia bertanya apa keperluan saya. Saya pun menjelaskan maksud kedatangan: ingin bertemu dengan Pak Roni atau Bu Warti, dua nama yang disebut oleh petugas di Gedung C sebagai pejabat yang menangani urusan TPG.

Sayangnya, Pak Wahyu menyampaikan bahwa baik Pak Roni maupun Bu Warti tidak ada di tempat. Ia mencoba membantu dengan menelepon beberapa kali, namun tidak diangkat. Satpam itu bahkan dengan sabar menemani saya berkeliling ke beberapa ruangan, berharap ada petugas lain yang bisa memberikan penjelasan. Tapi hasilnya tetap nihil. Semua ruangan tampak kosong.

Di titik itu, saya hanya bisa menarik napas panjang.

Bayangkan, seorang guru yang datang jauh-jauh ke Jakarta untuk menanyakan haknya, justru harus pulang tanpa kejelasan. Tidak ada sistem antrean digital, tidak ada petugas pengganti, bahkan tidak ada informasi kontak resmi yang bisa dihubungi selain nomor-nomor pribadi yang tidak aktif.

Saya tentu bisa memaklumi bila para pegawai sedang ada rapat atau kegiatan di luar kantor. Namun, pelayanan publik seharusnya tidak berhenti hanya karena pejabatnya tidak ada di tempat. Minimal ada petugas piket atau staf penerima tamu yang bisa mencatat aduan dan menjanjikan tindak lanjut.

Ironisnya, di zaman digital seperti sekarang, banyak urusan bisa dilakukan secara daring, tapi justru pelayanan dasar seperti validasi data guru masih mengharuskan kedatangan langsung ke gedung kementerian. Padahal, guru-guru di seluruh Indonesia membutuhkan kepastian data TPG yang valid agar tidak kehilangan haknya.

Saya bukan sedang mengeluh karena belum cairnya tunjangan profesi. Saya hanya berharap mekanisme pelayanan publik di lingkungan Kemendikbudristek bisa lebih manusiawi dan terstruktur. Guru datang bukan untuk menuntut, melainkan untuk mencari kejelasan atas haknya.

Saya juga mengapresiasi sikap Pak Wahyu sang satpam. Di tengah keterbatasannya, beliau tetap berusaha membantu dengan ramah. Justru beliau yang mewakili wajah pelayanan publik hari itu. Ironis, tapi nyata: yang melayani bukan petugas kementerian, melainkan satpam yang peduli.

Sebelum meninggalkan gedung, saya sempat duduk sejenak di lobi lantai dasar. Dalam hati saya berpikir, semoga pengalaman ini menjadi pengingat bahwa reformasi birokrasi bukan sekadar slogan. Guru-guru di Indonesia layak mendapatkan pelayanan yang lebih baik, transparan, dan mudah diakses.

Kekecewaan ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Tapi saya merasa perlu menuliskannya, agar ada perbaikan. Semoga ke depan, tak ada lagi guru yang datang jauh-jauh hanya untuk menemukan meja kosong dan petugas yang tak kunjung kembali.

Pelayanan publik yang baik bukan diukur dari megahnya gedung, melainkan dari hadirnya empati bagi mereka yang membutuhkan bantuan. Dan hari itu, di Gedung D lantai 16, saya belajar bahwa empati seorang satpam kadang lebih berharga daripada jabatan tinggi yang sulit ditemui.

Salam blogger Persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay
Guru blogger Indonesia
Blog https://wijayalabs.com

Unit layanan terpadu kemdikdasmen/dokpri
Unit layanan terpadu kemdikdasmen/dokpri