Para pedagang kaki lima memenuhi jalur pedestrian di Kawasan Kota Tua Jakarta. Benar-benar padat memenuhi. Sehingga membuat pejalan kaki sangat susah berjalan pada jalurnya, akhirnya berjalan di jalan raya yang menambah kemacetan di kawasan tersebut.
Makin ke sini makin ke sana, para pedagang dari waktu ke waktunya malah semakin bertambah banyak. Tidak ada penertiban dari Satpol PP yang bertanggung jawab di jalur pedestrian sekeliling kawasan Kota Tua.
Hal ini tentu saja membuat sekeliling kawasan Kota Tua menjadi kumuh, kotor, dan semrawut.
Para PKL (pedagang kaki lima) tersebut memenuhi jalur pedestrian di depan Museum Bank Indonesia (MUBI), jalur pedestrian depan Bank Mandiri, depan/sisi stasiun kereta, dan setiap harinya di sisi wilayah belakang kota tua, yaitu dari kali besar, seberang Jl. Cengkeh, hingga ke arah kantor polisi. Habis jalur pedestrian untuk para PKL berdagang. Jalur kendaraan bermotor pun hanya disisakan 1 lajur.
Para PKL pada masa Gubernur Ahok pernah direlokasi ke kawasan Taman Kota Intan yang berjarak 1 blok dari Museum Fatahillah. Namun akhirnya para PKL kembali berjualan di sekeliling kawasan kota tua tanpa keteraturan.
Usut punya usut ternyata para PKL ada yang "mem-beking-i". Yaitu para "penguasa" wilayah atau informal leader setempat yang juga punya network ke oknum pemerintah provinsi. Bahkan ke level gubernur/wagub.
Para informal leader atau "jawara" di kawasan kota tua itu merasa berhak menuntut ketidak-tertiban mereka karena merasa telah ikut berjasa mendukung pasangan gubernur dan wakilnya saat Pilkada DKI Jakarta 2017 dulu.
Diperlukan gubernur Jakarta yang sebersih dan seberani Ahok untuk membenahi kota yang mimpinya jadi "kota global"?
Kota global pala kau....