Guru di SMAN 9 Kota Bekasi yang tertarik menulis di Kompasiana. Penulis reflektif, dan pengamat kehidupan sosial sehari-hari. Menulis bagi saya adalah cara merekam jejak, menjaga kenangan, sekaligus mengolah ulang pengalaman menjadi gagasan yang lebih jernih. Saya tumbuh dari kisah pasar tradisional, sawah, dan gunung yang menjadi latar masa kecil di Cisalak-Subang. Kini, keseharian sebagai guru membuat saya dekat dengan cerita murid, dunia pendidikan, serta perubahan sosial yang terjadi di sekitar kita. Di Kompasiana, saya banyak menulis tentang: pendidikan yang manusiawi, dinamika sosial budaya, kenangan kecil yang membentuk cara pandang, serta fenomena keseharian seperti kafe, pasar, hujan, dan keluarga. Saya punya prinsip tulisan yang baik bukan hanya menyampaikan pendapat, tetapi juga mengajak pembaca berhenti sejenak untuk merenung, tersenyum, atau tergerak untuk berubah.




Berikut adalah kutipan-kutipan tentang Waduk Jatigede yang saya dapati ketika mengunjungi menara Kujang Sepasangnya, semua informasi tentang Waduk Jatigede bisa kita baca disini:

"Menara Kujang Sepasang selain destinasi wisata bisa jadi ruang penampilan beragam seni tradisi, juga pengkajian dinamika pemikiran budaya Sunda, keberadaan Menara Kujang Sepasang akan menjadi satu-satunya destinasi wisata yang berbasis budaya Sunda di Tanah Air.
Bagi komunitas seni dan budaya di Sumedang dan sekitarnya, keberadaan Menara Kujang Sepasang membuka peluang adanya ruang berekspresi yang bisa meningkatkan taraf hidup seniman.
Mereka para seniman khususnya daerah setempat siap melibatkan diri dalam pengelolaan program di Menara Kujang Sepasang. _(Tatang Sobana, Ketua Dewan Kebudayaan Kab. Sumedang)

"Meski memiliki Insun Medal Insun Madangan (Aku Lahir Aku Menerangi), namun pembangunan Bendungan Jatigede adalah hutang modal pemerintah pada pengorbanan warga Sumedang. Tidak cukup kampung halaman yang ditenggelamkan, mereka juga dimiskinkan karena kehilangan mata pencaharian. Ada trauma kesedihan dan putus asa karena merasa disia-siakan.