agus hendrawan
agus hendrawan Guru

Guru di SMAN 9 Kota Bekasi yang tertarik menulis di Kompasiana. Penulis reflektif, dan pengamat kehidupan sosial sehari-hari. Menulis bagi saya adalah cara merekam jejak, menjaga kenangan, sekaligus mengolah ulang pengalaman menjadi gagasan yang lebih jernih. Saya tumbuh dari kisah pasar tradisional, sawah, dan gunung yang menjadi latar masa kecil di Cisalak-Subang. Kini, keseharian sebagai guru membuat saya dekat dengan cerita murid, dunia pendidikan, serta perubahan sosial yang terjadi di sekitar kita. Di Kompasiana, saya banyak menulis tentang: pendidikan yang manusiawi, dinamika sosial budaya, kenangan kecil yang membentuk cara pandang, serta fenomena keseharian seperti kafe, pasar, hujan, dan keluarga. Saya punya prinsip tulisan yang baik bukan hanya menyampaikan pendapat, tetapi juga mengajak pembaca berhenti sejenak untuk merenung, tersenyum, atau tergerak untuk berubah.

Selanjutnya

Tutup

Video Pilihan

Ketika Burung Kutilang Berkicau di Pohon Mangga

25 September 2025   13:56 Diperbarui: 25 September 2025   19:41 421 16 4

Betapa bahagianya menyaksikan bentuk bahasa yang mereka gunakan, semua makhluk hidup ternyata punya cara masing-masing dalam berinteraksi.

Namun kebahagiaan itu sekaligus mengingatkan rasa prihatin. Sekumpulan burung yang hidup bebas, berlarian di udara, berkicau di ranting pohon, membuat saya berpikir: seandainya semua burung di dunia bisa hidup seperti itu, berdampingan dengan manusia tanpa harus takut ditangkap serta dipisahkan dari habitatnya.

Karena kenyataannya justru sebaliknya, bahkan di hutan dan sawah yang seharusnya menjadi rumah mereka, banyak burung yang ditangkap untuk diperjualbelikan.

Mereka dimasukkan ke dalam "sangkar emas" seolah itu bentuk kasih sayang, padahal tetap saja itu penjara. Bagi manusia, kicauannya mungkin menjadi hiburan. Tapi bagi burung, itu adalah kebebasan yang dirampas.

Bayangkan suara kicauan yang saya dengar pagi tadi yang begitu merdu dan hidup, mungkin tak akan pernah terdengar jika semua burung itu ditangkap dan dipenjara. 

Bukankah lebih indah ketika kita bisa menikmati kicau burung yang terbang bebas di alam, tanpa merasa bersalah karena ikut mendukung perniagaan yang merampas kebebasan mereka?

Saya melihat harmoni rapuh, sebuah momen langka ketika manusia dan makhluk lain bisa hidup berdampingan tanpa saling mengganggu. 

Mereka berkicau di pohon mangga dan di kabel listrik padat penduduk tanpa merasa terancam. Pemandangan begitu indah, yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Mungkin, inilah salah satu contoh hidup yang selaras dengan alam.
Bukan masalah siapa yang lebih kuat atau siapa yang berhak memiliki, melainkan tentang saling menghargai ruang hidup masing-masing. 

Kita tidak perlu mengusir mereka, apalagi memenjarakan mereka. Kita hanya perlu memberi ruang agar mereka tetap bisa menjadi diri mereka sendiri.

Saya yakin jika setiap orang mau sedikit saja mengubah cara pandangnya, dunia ini bisa terasa lebih indah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3