Video Pilihan

Hari Raya Karo, Suku Tengger Makan Bersama di Pemakaman

24 September 2019   15:36 Diperbarui: 24 September 2019   15:51 93 9 7

Ketika diajak atau diundang makan bersama atau pesta di restoran, rumah makan, kafe, atau hanya di rumah pengundang saja hampir pasti tidak menolak. Rejeki jangan ditolak. Tak elok. Orang Jawa bilang 'ora ilok'.

Tapi bagaimana jika undangan makan itu diadakan di kuburan atau pemakaman umum? Tentu akan menolak secara langsung atau mengernyitkan dahi dahulu dengan penuh tanda tanya kemudian bergidik dan menolaknya.

Siapa pun tahu kalau orang ke makam tujuan yang pasti hanya ada tiga: menghantar mereka yang berpulang ke peristirahatan terakhir, kirim doa (Jawa: kirim donga lan nyekar), dan menggali kuburan. Ada juga tujuan lain tapi silakan bayangkan seperti kala masih kecil sendiri. Makan bersama jarang terbayangkan, selain oleh mereka yang pernah tinggal di pelosok.

Minggu, 22 September 2019 saya mengundang beberapa teman (perempuan) untuk makan bersama yang langsung dijawab penuh kegembiraan apalagi saya sebutkan dengan naik roda empat.

"Ke mana dan dengan siapa saja?" tanya salah satu dari mereka.

"Kuburan dengan para lelembut...," jawabku singkat.

Wajah bersungut tanpa senyuman tanda penolakan dan kejengkelan sudah pasti.


Tradisi Sadranan.

Sadranan adalah tradisi berdoa bersama di pemakaman umum untuk mendoakan leluhur agar bahagia di alam baka. Biasanya dilanjutkan dengan makan bersama. Di beberapa wilayah tradisi ini mulai luntur dan ditinggalkan apalagi acara makan bersama.
Di lingkungan masyarakat Suku Tengger tradisi ini tetap ada, walau beda asal-usul sejarahnya. Bagi masyarakat Suku Tengger, sadranan merupakan puncak Hari Raya Karo yang diadakan selama 20 hari di bulan Karo. Selama dua puluh hari ini, para leluhur diundang  ikut hadir di masing-masing kelurga atau rumah. Kehadiran para leluhur ini disambut meriah dengan aneka sesajian berupa makanan dan minuman, buah-buahan, serta pakaian baru terutama sarung. Tak lupa bunga dan kemenyan. Perangkat desa dan pengurus adat pun mengadakan pesta desa dengan pertunjukan tayub (wajib). Dan pada hari terakhir atau hari ke dua puluh para leluhur di antar kembali ke alam keabadian dalam hal ini lewat pemakaman umum sebagai tempat mereka beristirahat. Saat mengantar leluhur ini merupakan puncak Hari Raya Karo dimana setiap keluarga menyiapkan aneka hidangan untuk dibawa ke pemakaman. Di sana seluruh anggota keluarga besar berkumpul jadi satu berdoa bersama seluruh warga desa yang dipimpin oleh Mbah Dukun. Setelah doa atau pembacaan mantra seluruh warga dipersilakan makan sajian yang dibawa dari rumah. Para warga termasuk anggota keluarga dari desa atau kota lain, datang dengan penampilan terbaik mulai dari pakaian baru, perhiasan baru, tata rias yang berbeda, bersila bersama menyantap sajian yang disiapkan. Debu-debu kemarau dari ladang berbukitan kerontang atau serangga  yang hilir mudik bukanlah hal yang menjijikan. Bagi kami ini merupakan pesta besar  nan agung bersama keluarga dan kerabat yang masih tinggal di madyapadha dan anggota eluarga yang sudah di alam keabadian. Tradisi yang telah berusia lebih dari  dua setengah abad ini (sesuai dengan tahun berdirinya Desa Ngadas) kini ada sedikit pergeseran dengan disisipi acara seremonial titipan penguasa untuk menyampaikan kebijakan pembangunan dan politik pemerintahan. Hal yang lumrah demi kebaikan bersama, namun tanpa bahasa yang komunikatif akan tidak membawa hasil yang bagus. Seperti kemarin, kehadiran Bupati Malang yang terlambat lebih dari dua jam lalu memberi sambutan dengan membaca sungguh membosankan warga yang sederhana.
Selesai makan bersama kami langsung pulang untuk menjamu tamu yang akan datang sore hari.
Inilah 'mukbang' ala warga Desa Ngadas pada Hari Raya Karo.

Hong mandara ulun basuki langgeng.....

Langgeng basuki...\

dokpri
dokpri
dokpri
dokpri
Belum tega meninggalkan leluhur. Dokpri
Belum tega meninggalkan leluhur. Dokpri