Very Barus
Very Barus Foto/Videografer

Mantan jurnalis yang masih cinta dengan dunia tulis menulis. Sudah menelurkan 7 buah buku. Suka traveling dan Mendaki Gunung dan hal-hal yang berbau petualangan. Karena sejatinya hidup adalah sebuah perjalanan, maka berjalannya sejauh mana kaki melangkah. Kamu akan menemukan banyak hal yang membuat pikiran dan wawasanmu berbicara. Saya juga suka mengabadikan perjalan saya lewat visual. Anda bisa menyaksikannya di channel Youtube pribadi saya (www.youtube.com/verybarus). Saya menulis random, apa yang ingin saya tulis maka saya akan menulis. Tidak ada unsur paksaan dari pihak mana pun. Selamat membaca!

Selanjutnya

Tutup

Video

Belajar tentang Hidup dari Suku Baduy

11 Februari 2020   16:12 Diperbarui: 11 Februari 2020   16:38 344 1 0


Akhir tahun 2019 lalu, gue melakukan perjalanan ke Desa Baduy yang ada di Banten. Sebenarnya Jaraknya tidak terlalu jauh dari kota Jakarta. Hanya hitungan beberapa jam saja. Hanya saja, ketika menginjakkan kaki ke Desa Baduy, perasaan hati gue bener-bener begitu tersentuh. Ya, tersentuh dengan cara penduduk suku Baduy memaknai arti hidup. 

Pertama kali bertemu dengan penduduk Suku Baduy (dalam dan luar), gue langsung bertanya," Kenapa tidak pakai alas kaki (sandal?). Karena semua anak-anak Baduy (baik yang tua, dewasa, anak muda hingga anak kecil, semua tidak mengenakan alas kaki atau sandal. Ternyata mereka memiliki alasan tersendiri yang sudah mengakar dalam kehidupan mereka. Tidak memakai alas kaki agar mereka bisa bersentuhan langsung dengan bumi tanpa ada yang membatasi.Itu perumpamaan yang gue dengar langsung dari salah satu anak Baduy.

Selain itu, warga suku Baduy jika hendak pergi ke Jakarta, mereka harus berjalan kaki tanpa alas kaki. Jarak yang mereka tempuh cukup jauh karena mereka tidak boleh menumpang kendaraan umum atau kendaraan pribadi orang lain. Jika ketahuan, mereka akan dikenai sanksi hukum adat yang berlaku. Bahkan bisa di keluarkan dari suku Baduy. Oleh karena itu, untuk bisa tiba di Jakarta, mereka membutuhkan waktu berjalan kaki sekitar 3 hari lamanya. Luar biasa kuatnya stamina mereka, bukan?

Tujuan mereka ke Jakarta biasanya selain ingin jalan-jalan juga menjual madu. Oiya, Suku Baduy juga terkenal dengan madu-nya. Harga madu yang dijual cukup variatif. Mulai dari Rp.50 ribu hingga ratusan ribu. dari hasil menjual madu itu lah mereka mendapatkan uang. 

Warga Suku Baduy juga tidak diperolehkan meminta minta. Tapi jika dikasih atau ada yang memberi mereka makanan, minuman mereka tidak menolak. Hanya saja, mereka tidak diperbolehkan meminta. Bahkan, sikap mereka juga membuat gue tertegun. Mereka cukup ramah dan sopan. 

Selama berada di Suku Baduy, gue bener-bener merasa nyaman dan tenang. Bagaimana tidak, ketika kita memasuki desa suku Baduy dalam, segala perangkat elektronik sudah tidak diperbolehkan aktif. semua harus dimatikan. Bahkan lampu senter sekali pun tidak diperbolehkan. Jadi, selama di Suku Baduy Dalam, kami menikmati hidup dalam hening. Tidak ada cahaya lampu selain dari lampu teplok dan juga lampu lilin.    Ah, hidup terasa begini damai. Karena gue merasakan ketenangan jiwa dan raga. 

Malam harinya kami mengisi waktu sebelum tidur dengan bercerita. juga mendengarkan cerita dari warga Baduy Dalam. begitu banyak yang dikisahkan tentang kehidupan di Suku Banyak banget. Rasanya kolom ini tidak akan cukup untuk mengisahkannya. Hanya saja, gue merasa beruntung bisa mendatangi Desa Suku Baduy. Karena selama ini gue hanya mendengar cerita tentang Suku BAduy dari teman-teman yang sudah pernah kesana. Dan, itu juga yang menjadi alasan kenapa gue ngotot pengen berkunjung. 

Ternyata betul adanya, Desa Suku Baduy banyak mengajarkan gue tentang hidup. Salah satunya cara kita bersyukur juga iklas. 

Terimakasi Desa Suku Baduy...