Sebagai seorang yang terus berproses dalam dunia inovasi pendidikan, saya menyadari sepenuhnya bahwa perjalanan belajar tidak pernah berhenti. Kekurangan yang saya miliki bukanlah penghalang, melainkan bahan bakar untuk terus berinovasi dan memperbaiki diri. Saat melihat rekan-rekan pendidik yang begitu produktif, terutama di bidang Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, saya justru semakin termotivasi untuk tidak berhenti belajar. Saya percaya bahwa ilmu dapat datang dari mana saja—bukan hanya dari guru atau buku, tetapi juga dari kawan yang lebih muda, bahkan dari para siswa/mahasiswa yang saya bimbing. Bagi saya, setiap interaksi adalah ruang belajar, setiap pengalaman adalah pelajaran berharga. Dengan semangat ini, saya terus mengasah diri, baik dalam aspek soft skill maupun pengembangan inovasi, agar dapat memberikan kontribusi terbaik bagi dunia pendidikan dan peradaban ilmu.
Di dalam setiap diri manusia selalu ada ruang hening yang tak terjamah. Ruang tempat tubuh menyimpan luka-luka kecil, ketakutan, rasa kehilangan, dan pengalaman yang tak pernah selesai. Banyak orang ingin hidupnya berubah, rezeki meningkat, karier stabil, relasi membaik. Namun sering kali, di balik keinginan itu, ada suara lirih yang membisik; “Berat, susah, kayaknya aku nggak bisa.” Pikiran kita berkata ingin maju, tapi tubuh justru menarik rem. Ada konflik sunyi antara logika dan bawah sadar.
Fenomena ini terjadi karena tubuh menyimpan memori dengan cara yang tidak dilakukan pikiran. Ketika seseorang pernah dikhianati, misalnya, yang hilang bukan sekadar hubungan, tetapi rasa percaya. Ketika kehilangan itu tidak disembuhkan, tubuh menciptakan mekanisme perlindungan, tidak mau lagi berani mencintai, tidak mau mencoba peluang besar, atau tidak mau membuka diri. Banyak orang akhirnya hidup dengan “mode bertahan”, bukan “mode berkembang”, bahkan terhadap dirinya sendiri.
Teori lima bahasa kasih banyak dipakai untuk memahami kebutuhan manusia. Tetapi bagi sebagian orang, bahasa kasih bukan hanya soal kebutuhan. Melainkan penanda luka lama. Seolah tubuh sedang berteriak; “Aku dulu pernah kekurangan ini. Tolong penuhi. Tolong sembuhkan.” Dan selama luka itu belum disentuh, relasi apa pun akan terasa kurang, seimbang sebentar lalu retak lagi.
Sebagian besar depresi, kecemasan, atau rasa hampa yang berkepanjangan lahir dari kehilangan harapan yang menumpuk lama. Tubuh merekam semua itu. Pikiran mungkin berkata “aku baik-baik saja”, tetapi tubuh tidak pernah berbohong. Ia menyimpan getaran kecewa, marah, takut, bahkan perasaan tidak layak yang kita pikir sudah lama hilang.
Lebih jauh lagi, ada orang yang tidak sadar bahwa doanya sendiri sedang dibatalkan oleh tubuhnya. Ia memohon rezeki, tetapi bawah sadar berbisik; “Aku nggak pantas, aku pasti gagal lagi” Benturan antara doa dan batin ini membuat seseorang seperti berputar di tempat, naik sebentar, tapi jatuh lagi di pola yang sama.
Dalam ilmu afektif, ada konsep zero affective coding yang membawa tumpukan emosi kembali ke titik netral. Emosi manusia berlapis-lapis. Kadang trauma besar justru terikat pada benih emosi yang tampak sepele, kejadian masa kecil, perasaan diabaikan, ucapan sederhana, atau pengalaman belajar yang dulu dianggap remeh. Namun saat benih itu disentuh, emosi besar yang menempel di atasnya ikut mereda.
Kehidupan kita pun dibentuk oleh pengalaman masa kecil. Banyak generasi terdahulu terbiasa menghadapi kerasnya hidup, sehingga mental mereka terlatih. Sebaliknya, generasi hari ini tumbuh dalam kenyamanan informasi, sehingga ketika menghadapi ketidakadilan pertama atau pengkhianatan kecil, tubuh langsung goyah. Bukan karena lemah, tetapi karena tidak pernah dilatih menghadapi turbulensi emosional.
Standar ideal keluarga dan “teori parenting sempurna” yang berseliweran di media sosial sering membuat orang merasa masa kecilnya adalah trauma. Padahal dulu, pukulan rotan dianggap sebagai tanda perhatian, bukan kekerasan. Ketika narasi masa lalu dibaca dengan kacamata teori modern, banyak orang menganggap dirinya rusak padahal baik-baik saja. Inilah efek prior update. Kita diberi kerangka baru lalu mulai melihat hidup dengan lensa yang tidak selalu tepat.
Generasi sebelum kita hidup lebih ringan. Tidak dibebani istilah introvert, overthinking, inner child, attachment style, atau toxic relationship. Mereka hidup apa adanya, bekerja seperlunya, dan tidak merasa tertinggal karena tidak membandingkan hidupnya dengan dunia. Sementara generasi sekarang membawa beban ratusan definisi diri yang tidak semuanya relevan.
Masalah “tidak enakan”, misalnya, sering dianggap sekadar sifat. Padahal, ia bisa menjadi gejala trauma kehilangan. Takut ditinggalkan, takut tidak disukai, takut tidak cukup. Orang seperti ini sering berkata “ya” pada semua orang, tetapi terus berkata “tidak” pada dirinya sendiri.
Banyak pula yang menyembunyikan diri dari dunia karena rasa bersalah yang belum selesai—takut reputasinya rusak, takut ditemukan cacatnya, takut membuka luka lama. Dalam bisnis, ini membuat seseorang kehilangan vibrasi kepercayaan diri. Di media sosial, membuat konten terasa tumpul. Dalam relasi, membuat cinta terasa setengah.