Sebagai seorang yang terus berproses dalam dunia inovasi pendidikan, saya menyadari sepenuhnya bahwa perjalanan belajar tidak pernah berhenti. Kekurangan yang saya miliki bukanlah penghalang, melainkan bahan bakar untuk terus berinovasi dan memperbaiki diri. Saat melihat rekan-rekan pendidik yang begitu produktif, terutama di bidang Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, saya justru semakin termotivasi untuk tidak berhenti belajar. Saya percaya bahwa ilmu dapat datang dari mana saja—bukan hanya dari guru atau buku, tetapi juga dari kawan yang lebih muda, bahkan dari para siswa/mahasiswa yang saya bimbing. Bagi saya, setiap interaksi adalah ruang belajar, setiap pengalaman adalah pelajaran berharga. Dengan semangat ini, saya terus mengasah diri, baik dalam aspek soft skill maupun pengembangan inovasi, agar dapat memberikan kontribusi terbaik bagi dunia pendidikan dan peradaban ilmu.
Padahal, ketika seseorang berdamai dengan masa lalunya, energinya berubah. Bukan karena tiba-tiba kuat, tetapi karena beban emosionalnya dilepas. Ia tidak lagi takut ditolak. Ia menjadi lebih autentik. Ia tidak berusaha sempurna, cukup menjadi manusia utuh.
Di zaman sekarang, banyak perilaku emosional diberi label psikologis tanpa pemahaman yang cukup. Padahal tubuh punya bahasanya sendiri. Pundak yang tegang adalah tanda beban. Tenggorokan yang tersumbat adalah suara yang ditahan. Perut yang nyeri adalah ketakutan terhadap masa depan. Kaki yang berat adalah keraguan terhadap langkah yang akan diambil. Semua itu adalah pesan, bukan penyakit semata.
Penyembuhan pun tidak hanya lewat pikiran. Orang tidak bisa sembuh hanya dengan berkata, “Aku harus tenang.” Penyembuhan terjadi ketika seseorang benar-benar merasakan ketenangan. Bukan berpikir positif, tetapi merasakan positif. Bukan melawan rasa sakit, tetapi berdamai dengan rasa sakit.
Di titik inilah spiritualitas mengambil peran. Ketika seseorang benar-benar pasrah kepada Tuhan—bukan menyerah, tetapi melepaskan kontrol—tubuhnya berhenti melawan. Ketegangan turun. Nafas kembali panjang. Cortisol mereda. Asam lambung menurun. Dan tubuh mulai memperbaiki dirinya.
Karena hakikatnya, kita hanyalah manusia. Kita punya batas. Kita bukan robot. Tubuh berbicara, dan ia lebih jujur daripada pikiran kita. Kadang kita mencari solusi ke mana-mana, meminum banyak suplemen, mengubah gaya hidup, tetapi tidak menyentuh akar persoalan; perasaan yang tidak pernah diberi ruang. Tubuh sudah berteriak, namun kita tidak mendengar.
Pada akhirnya, perjalanan penyembuhan manusia bukan tentang menjadi sempurna, tetapi tentang menjadi utuh. Tentang keberanian untuk melihat ke dalam, bukan lari ke luar. Tentang menerima masa lalu, memahami diri, dan menyerahkan sisanya kepada Tuhan. Karena tubuh selalu memberi sinyal. Yang kita butuhkan hanyalah berhenti sejenak dan mendengarkannya.