Saya memulai hidup ini dengan menulis puisi dan cerita pendek, kemudian jadi wartawan, jadi pengelola media massa, jadi creative writer untuk biro iklan, jadi konsultan media massa, dan jadi pengelola data center untuk riset berbasis media massa. Saya akan terus bekerja dan berkarya dengan sesungguh hati, sampai helaan nafas terakhir. Karena menurut saya, dengan bekerja, harga diri saya terjaga, saya bisa berbagi dengan orang lain, dan semua itu membuat hidup ini jadi terasa lebih berarti.
Para milenial menyelami Chairil Anwar. Kecintaan kepada bangsa, tumbuh. Kesadaran berbangsa, bangkit. Apa artinya literasi bagi kemajuan bangsa?
Milenial Membaca Chairil
Secara waktu, Chairil Anwar adalah masa lalu. Tapi, selalu ada jalan untuk menghubungkan antar zaman. Itulah hakekat literasi, yang memungkinkan generasi milenial kini, menyelami pikiran serta perasaan Chairil Anwar, yang lahir hampir 100 tahun yang lalu.
Para milenial menyelami Chairil Anwar melalui sajak-sajak ciptaannya. Mencermati kata demi kata. Menghayati spirit yang dikandungnya. Kemudian, mengartikulasikannya ke generasi yang kini terus bertumbuh.
Apa yang disuarakan Chairil Anwar berpuluh tahun yang lalu, ternyata masih relevan untuk digemakan di zaman milenial ini. Kenapa? Salah satunya, karena Chairil Anwar mampu memadatkan hakekat kemanusiaan dalam bait-bait sajaknya.
Menyimak para milenial membaca Chairil Anwar, seolah tak ada jarak, antara mereka dengan sajak-sajak tersebut. Padahal, dalam konteks waktu, ada puluhan tahun yang membentang. Ada serentetan pergulatan hidup yang terjadi di era Chairil Anwar, yang mungkin belum dialami oleh para milenial.
Sekali lagi, itulah hakekat literasi. Spirit suatu zaman, misalnya, bisa dijangkau melalui karya literasi pada zaman yang bersangkutan. Bahwa ada karya literasi yang mampu melintasi zaman, seperti sajak-sajak Chairil Anwar, itulah keistimewaan yang barangkali tidak dimiliki oleh penyair lain.
Sebaliknya, para milenial yang saya cermati ketika mereka membaca Chairil Anwar, mereka berhasil masuk ke dalam nafas Chairil Anwar. Artinya, mereka mampu menyerap spirit yang berasal dari luar zamannya.
Kok bisa? Ya, tentu saja bisa, karena mereka terus-menerus berlatih. Arin, Indar, dan Mia adalah tiga sosok milenial yang menunjukkan keberhasilan dari latihan yang dimaksud. Arin dan Indar sama-sama siswa SMA Negeri 70, Jakarta Selatan. Mia adalah murid SMP Negeri 210, Jakarta Timur.
Ketiga milenial tersebut sama-sama bergabung dalam Gliter Jak, komunitas seni budaya, yang anggotanya adalah para siswa di DKI Jakarta. Aktivitas Gliter Jak tentu saja bukan hanya membaca puisi, tapi juga menari dan berteater.