Isson Khairul
Isson Khairul Jurnalis

Saya memulai hidup ini dengan menulis puisi dan cerita pendek, kemudian jadi wartawan, jadi pengelola media massa, jadi creative writer untuk biro iklan, jadi konsultan media massa, dan jadi pengelola data center untuk riset berbasis media massa. Saya akan terus bekerja dan berkarya dengan sesungguh hati, sampai helaan nafas terakhir. Karena menurut saya, dengan bekerja, harga diri saya terjaga, saya bisa berbagi dengan orang lain, dan semua itu membuat hidup ini jadi terasa lebih berarti.

Selanjutnya

Tutup

Video Pilihan

Romo Marthin Menggugah Kesadaran dengan Fragmen Kebudayaan

30 Januari 2023   12:19 Diperbarui: 30 Januari 2023   12:25 906 1 0

Romo Marthin menggugah kesadaran dengan kejadian keseharian. Foto: Isson Khairul
Romo Marthin menggugah kesadaran dengan kejadian keseharian. Foto: Isson Khairul

Ada berjuta kejadian yang terabaikan. Itu penanda nilai-nilai tradisi dan kebudayaan kita sudah tergerus serta terkikis. Robert William Marthin menggugah kesadaran kita dengan buku Fragmen Kebudayaan.

Dari Kejadian Keseharian   

 


Romo Marthin. Begitu ia kerap disapa. Adakalanya, ia memberikan pelayanan di gereja, sebagai Rohaniawan. Kadang, ia berkeliaran di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, sebagai pegiat budaya. Jumat, 27 Januari 2023 lalu, ia mengajak para seniman berbincang tentang hidup dan kehidupan, melalui Fragmen Kebudayaan.

Fragmen Kebudayaan adalah buku terbaru Romo Marthin, lengkapnya Robert William Marthin. "Ini adalah buku sederhana, tentang berbagai peristiwa keseharian. Saya mencatat beragam peristiwa tersebut, kemudian menuliskannya sebagai bagian dari renungan kehidupan," tutur Romo Marthin di Forum Diskusi Buku Meja Budaya.

Romo Marthin memberi contoh tentang kuku. Ia menuturkan, seorang perempuan bertanya kepadanya, "Mengapa kuku ini terus tumbuh?" Sebagai seorang Romo, sebagai seorang Rohaniawan, Robert William Marthin menjawab, bahwa kuku itu akan terus tumbuh tanpa disadari.

Demikian juga dengan rambut, yang semula hitam, kemudian tanpa disadari akan mulai memutih. "Kuku, rambut, dan hal lain di diri kita berubah tanpa kita sadari, karena sesungguhnya semua itu bukan milik kita. Bukan milik kita," gumam Romo Marthin meyakinkan.

Kesadaran bahwa kita adalah manusia, kita adalah milik Sang Pencipta, itulah yang hendak digugah oleh Romo Marthin melalui 75 esei yang dihimpun dalam buku Fragmen Kebudayaan ini. Debra H. Yatim, jurnalis yang juga dikenal sebagai aktivis sosial budaya, menyebut, 18 dari 75 esei tersebut, memang kental dengan kesadaran bahwa kita adalah manusia, kita adalah milik Sang Pencipta.  

Di Forum Diskusi Buku Meja Budaya yang digelar di Balai Budaya Jakarta tersebut, Debra H. Yatim tampil sebagai pembicara bersama Joe Marboen, pegiat budaya yang intens melakukan advokasi budaya. Meski kental dengan kesadaran bahwa kita adalah manusia, kita adalah milik Sang Pencipta, Romo Marthin mengaku bahwa ia tidak sedang ber-khutbah melalui buku Fragmen Kebudayaan tersebut.

Dengan Pendekatan Spiritual

 

Yang dilakukan Romo Marthin melalui 75 esei itu, adalah menelaah beragam peristiwa keseharian dengan pendekatan spiritual. Kita tahu, istilah spiritual berasal dari bahasa Latin spiritus, yang berarti napas. Spirare artinya bernapas. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kita bisa menemukan istilah spiritual, sebagai hubungan dekat dengan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin).

Dengan kata lain, Romo Marthin mengajak kita sebagai pembaca untuk mem-batin sekaligus merenungi berbagai peristiwa keseharian, yang selama ini mungkin terabaikan. Dalam pergaulan sehari-hari, misalnya. Ia menyebut, belakangan ini seseorang mau berinteraksi dengan orang lain, kalau ada untungnya.

Maksudnya, untung-rugi kerap menjadi pertimbangan utama banyak orang dalam bergaul. Padahal, bergaul dengan sesama adalah proses sosial yang merupakan ruh dari tradisi dan kebudayaan kita. Tanpa membedakan kelas sosial ekonomi, dengan tidak mengedepankan azas untung-rugi. Dengan demikian, interaksi menjadi lentur sekaligus luwes.

Dengan suara lantang, Romo Marthin menyebut, "Saya berteman dengan Remmy, dengan Nanang, dan dengan Debra misalnya, semata-mata karena saya manusia dan mereka manusia. Atas dasar sesama manusia. Itu pertimbangan utama saya," ujar Romo Marthin sembari bangkit dari duduknya.

Secara bahasa tubuh, dengan bangkit dari duduknya, kemudian menunjuk-nunjuk ke segala arah ketika bicara, Romo Marthin sesungguhnya sedang mengekspresikan kegeramannya terhadap perilaku untung-rugi, yang sudah mendominasi di tengah masyarakat kita. Azas untung-rugi tersebut, justru menjadi benih bagi timbulnya konflik di berbagai lapisan masyarakat.

Realitas mengedepankan azas untung-rugi, sekaligus menunjukkan bahwa nilai-nilai tradisi dan kebudayaan kita sudah tergerus serta terkikis. Dalam konteks itu, kesadaran serta ketelatenan Romo Marthin menuliskan esei-esei kebudayaan, yang kemudian dihimpun dalam buku Fragmen Kebudayaan tersebut, tentulah patut kita apresiasi.

Agaknya, para pemangku kepentingan di negeri ini sudah menyadari bahwa nilai-nilai tradisi dan kebudayaan kita terus tergerus serta terkikis. Pada Selasa, 4 April 2017 lalu, misalnya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas) sampai mengadakan seminar nasional bertema Peran Kebudayaan dalam Pembangunan Nasional di Jakarta.

Meski dalam kenyataannya Peran Kebudayaan kerap diabaikan para pemangku kepentingan di negeri ini, tapi itu bukan alasan bagi para pegiat kebudayaan untuk terus dan terus mengedepankan Kebudayaan di berbagai lini kehidupan.

Untuk itu, apresiasi juga patut kita berikan kepada Penerbit Teras Budaya, Komunitas Dapur Sastra Jakarta (DSJ), dan Komunitas Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) yang secara bersama-sama telah menggelar Forum Diskusi Buku Meja Budaya tersebut. Bagaimanapun juga, ini adalah bagian dari upaya untuk menjaga serta merawat nilai-nilai tradisi dan kebudayaan kita.

Jakarta, 30 Januari 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2