Saya memulai hidup ini dengan menulis puisi dan cerita pendek, kemudian jadi wartawan, jadi pengelola media massa, jadi creative writer untuk biro iklan, jadi konsultan media massa, dan jadi pengelola data center untuk riset berbasis media massa. Saya akan terus bekerja dan berkarya dengan sesungguh hati, sampai helaan nafas terakhir. Karena menurut saya, dengan bekerja, harga diri saya terjaga, saya bisa berbagi dengan orang lain, dan semua itu membuat hidup ini jadi terasa lebih berarti.
Makna kata bisa berganda berkali-lipat. Memberi penambahan makna kepada kata adalah bagian dari rasa syukur. Karena, kata adalah nikmat dari Sang Pencipta.
Kata Penuh Makna
Puisi adalah bagian dari upaya manusia untuk memberi penambahan makna kepada kata. Matahari, misalnya, sebagai sebuah kata di dalam kamus bahasa, adalah matahari sebagai benda yang menerangi bumi, dari langit. Ketika kata matahari ditempatkan di dalam puisi, maknanya tentu menjadi berganda.
Ia bisa, antara lain, bermakna energi yang menjadi sumber tenaga. Ia juga bisa bermakna spirit yang membangkitkan semangat hidup, setelah seseorang terpuruk dalam kemiskinan. Ia pun bisa bermakna harapan yang dibutuhkan demi mengejar cita-cita. Bahkan, ia bisa pula bermakna api yang memanggang hidup seseorang, yang terlunta-lunta karena tidak memiliki sanak-saudara.
Begitulah yang saya pahami, ketika Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri bercerita tentang kata. Bagi Bang Tardji -demikian saya menyapanya- kata adalah nikmat dari Sang Pencipta. Menurutnya, nikmat itu tak cukup, jika hanya dinikmati begitu saja, sebagaimana adanya.
Manusia sudah sepatutnya memberi nilai tambah kepada kata, nikmat yang dimaksud. Dengan bekal pikir dan rasa, manusia tentu memiliki ruang untuk meng-elaborasi tiap kata, agar makna sang kata berganda berkali-lipat.
Pertanyaannya, apakah tiap orang meng-elaborasi tiap kata dalam kesehariannya? Rumusan sederhana, elaborasi adalah suatu proses yang ditempuh seseorang untuk mengembangkan ide dan atau informasi secara lebih detail dan atau mendalam.
Bila mengacu ke rumusan di atas, jawabannya tentu tidak. Barangkali, karena tidak tiap orang merasa perlu memberi penambahan makna kepada kata. Ada memang orang-orang dengan minat serta profesi tertentu, yang demikian intens melakukan penambahan makna kepada kata.
Antara lain, para peminat puisi dan penyair. Saya kemudian ingat Subagio Sastrowardoyo. Penyair ini pada tahun 1991 mendapat Anugerah South East Asia (SEA) Write Award atau Hadiah Sastra ASEAN, dari Kerajaan Thailand untuk bukunya Simfoni Dua.
Kenapa Subagio Sastrowardoyo? Karena, saya pernah membaca puisi karyanya berjudul Kata yang dimuat di Majalah Sastra Horison edisi Februari tahun 1967. Ini petikan bait awalnya: