Meja makan keluarga besar bukan sekadar tempat untuk mengisi perut. Di sana, energi sosial mengalir deras, menghangatkan jiwa dan mempererat ikatan antar anggota keluarga dengan mitos makanan penuh kenangan tak terlupakan.
Aroma masakan yang menguar, suara tawa yang riang, dan cerita-cerita yang mengalir, semuanya menyatu menciptakan harmoni yang tak ternilai.
Salah satu hidangan yang seringkali hadir di meja makan keluarga besar Kami adalah gurame.
Ikan air tawar dengan daging yang lembut dan gurih ini memiliki tempat istimewa di hati keluarga besar kami.
Saat itu setiap hari terakhir ramadan, Bapak pasti menguras beberapa kolam ikan peliharaannya. Ada banyak macam ikan di kolam. Biasanya yang terbesar adalah gurame. Jenis ikan ini yang ditangkap terlebih dahulu, dan dipindahkan ke kolam yang tidak dikuras.
Biasanya diambil gurame yang ukurannya paling besar, sekitar 2 kg. Yang di bawah 1 kg dimasukkan lagi ke kolam yang tidak dikuras. Barulah kolam dikuras, dan kita tinggal menangkap ikan dalam lumpur dengan mudah.
Ada tawes, mujair, dan ikan yang banyak tanpa dipelihara karena masuk dari irigasi adalah sepat dan betik. Ada juga udang, lele, ikan gabus, belut, sidat, dan sejenisnya yang bersembunyi di sarang berlumpur.
Hasil ikan sebanyak itu biasanya dibagikan ke tetangga yang ikut menguras kolam dan saudara. Kenangan ikut masuk kolam, main lumpur dan menangkap ikan adalah ritual hari terakhir puasa yang tak terlupakan hingga kini.
Setelah mandi bersih karena berlepotan lumpur, biasanya kami mandi sebersih-bersihnya dan istirahat menunggu saat berbuka.
Di antara banyak ikan, gurame lah yang paling berkesan bagi kami. Bukan Gurame goreng dengan sambal kecap, gurame asam manis, atau gurame bakar, tapi Sop kepala gurami dan sisa fillet gurame. Dagingnya digoreng biar awet dan disimpan, sebab saat itu kulkas masih langka dan keluarga kami tidak punya.
Sedang kepala dan sisa tulang yang sudah difillet tapi masih banyak dagingnya inilah yang asyik saat dinikmati bersama. Meong...meong ..meong!!! Eh... tidak ya.
Dalam air mendidih, dimasukkan garam, bawang merah, bawang putih, tomat yang dicincang. Beri sedikit gula, daun salam, sereh, lengkuas, dan masukkan kepala gurami dan tulangnya. Dimasak sampai matang.
Biasanya gurame yang ditangkap lumayan banyak, jadi kepala dan tulangnya saja bisa sampai sepanci besar.
Sop inilah favorit kami sekeluarga. Asyik saat dinikmati bersama tanpa nasi. Disesap dan diambil dagingnya, tulangnya baru dikasih kucing. Hehehe...
Pada saat itu, gurame bukan sekadar makanan, tapi simbol kebersamaan. Kini tidak hanya menjadi simbol kebersamaan, tapi juga nostalgia, dan kehangatan keluarga.
Karena itu, saat pulang nyekar dan silaturahmi dari tempat Mbah, kami sepakat untuk mampir ke restoran dengan menu gurame.
Awalnya kami berniat mampir rumah makan yang tak jauh dari rumah. Berhubung pagi dan siangnya pakdhe barusan reuni di situ, jadi menyarankan restoran lain biar tidak bosan.
Kalau bisa yang tempat nya luas dan menyediakan musala. Akhirnya Budhe Rita merekomendasikan restoran Satu-satu. Kami ikut saja, karena tidak paham tempatnya.
Ternyata tempat nya memang luas dan nyaman. Tersedia Musala juga, jadi kami bisa menunaikan salat Maghrib setelah selesai memesan makanan.
Ada steam boat, lele goreng , ayam goreng serundeng, udang asam manis, cumi asam manis, gurame lombok ijo dan gurame bakar.
Tapi yang paling menarik dan berkesan adalah menu gurame, di samping steam boat yang terasa nikmat karena dinikmati beramai-ramai.
Setiap suapan gurame membawa kembali kenangan tentang kumpul keluarga di akhir Ramadan, saat lebaran, liburan sekolah, atau perayaan hari besar.
Gurame adalah pengingat akan masa-masa indah yang mungkin telah berlalu, tetapi selalu tersimpan rapi di dalam hati.
Di tengah kesibukan dan hiruk pikuk kehidupan modern, makan bersama keluarga besar menjadi momen langka yang sangat berharga dan bisa merecharge social energy seusai nyekar dan silaturahmi di saat lebaran.
Meja makan menjadi tempat di mana generasi yang berbeda bertemu, berbagi cerita, dan saling mendukung. Di sana, anak-anak belajar tentang nilai-nilai keluarga, orang tua berbagi pengalaman hidup, dan kakek nenek memberikan nasihat bijak.
Kini kami tinggal generasi muda tanpa kakek dan nenek. Hanya Bapak, ibu dan anak. Tapi Gurame, dengan segala kelezatan dan kenangannya, menjadi perekat yang menyatukan semua perbedaan.
Gurame adalah hidangan yang mampu membangkitkan selera dan emosi, menciptakan suasana hangat dan akrab. Lebih dari sekadar makanan, gurame adalah simbol energi sosial yang mengalir dari meja makan keluarga, menghidupkan kembali kenangan masa kecil dan mempererat ikatan antar generasi. Mitos makanan yang bukan lagi mitos, tapi sebuah kenyataan.
Menu gurame saat makan bersama keluarga besar, menikmati hidangan gurame yang lezat,bisa menjadi tradisi yang diturunkan ke anak cucu kami. Bahkan menjadi Recharge energi sosial yang tak ternilai. Karena di meja makan keluarga, kita tidak hanya mengisi perut, tetapi juga mengisi jiwa dengan cinta dan kebersamaan.
Yuk simak kebersamaan kami saat merecharge social energy di RM Satu-satu Purworejo, Jawa Tengah.
Sumber : YouTube @Isti Yogiswandani channel