Hobinya berfikir, menulis, berkata dan melakukan apa yang telah dikatakan...

Refleksi QS Az-Zumar 68-70.
Pada suatu hari yang belum pernah disaksikan mata, dan belum pernah didengar telinga,
di saat seluruh waktu berhenti seketika,
saat itulah sangkakala ditiup untuk pertama kali.
Getarannya tidak seperti badai yang pernah lewat,
tidak seperti gemuruh langit yang pernah kita dengar.
Ia adalah panggilan yang merobohkan seluruh peradaban sekaligus, menggugurkan daun, meluluhkan gunung, dan mematikan setiap makhluk yang pernah bernyawa
---kecuali yang dikehendaki-Nya bertahan.
Lalu, setelah hening yang tak terbayangkan lamanya, ditiupkan kembali sangkakala itu.
Tidak ada yang lebih cepat, lebih mengejutkan, lebih memaksa
selain hembusan kedua yang membuat setiap jasad membuka mata kembali dari tidur panjangnya.
Dan di situlah kita berdiri:
tak berpakaian selain amal, tak berbekal selain jejak yang telah kita tinggalkan.
Pada Hari Itu, Bumi Menjadi Sebuah Buku Raksasa
Bumi yang selama ini kita pijak
yang kita anggap batu, tanah, debu,
menjadi terang benderang oleh cahaya Tuhanmu.
Tidak seperti matahari yang menyilaukan,
tetapi seperti kebenaran yang telanjang,
yang tidak bisa ditutup apa pun.
Dan di atas hamparan itu,
yang tidak ada lagi lembah atau gunung,
dibuka sebuah kitab yang sangat besar:
Kitab Kehidupan.
Bukan kitab yang ditulis orang lain,
bukan buku yang diwarisi,
melainkan tulisan kita sendiri,
yang kita goreskan pelan-pelan
dari hari pertama kita belajar menangis,
hingga hari terakhir ketika napas kita keluar
sebagai kepulangan.
Kitab itu bukan tinta.
Ia adalah amal.
Ia adalah niat.
Ia adalah kata-kata yang pernah keluar dari mulut kita, yang pernah kita anggap ringan,
yang ternyata berat di sisi Allah.
Setiap kebaikan kecil yang tak pernah kita hitung,
setiap keburukan kecil yang kita anggap remeh,
semua menumpuk dan menyusun bab-bab
dalam buku hidup kita.
Tidak ada yang luput.
Tidak ada yang hilang.
Tidak ada kelupaan.
Karena Allah tidak pernah lupa.
Ketika Buku Itu Dibuka
Ada halaman yang bercahaya seperti subuh yang lembut.
Itulah amal-amal baik yang dulu kita lakukan diam-diam,
yang bahkan kadang kita sendiri lupa.
Ada halaman yang kelam bagai malam gulita,
berisi dosa yang dulu kita tawa-kan,
yang kita tutup rapat dari manusia,
tapi tidak pernah tertutup dari Tuhan.
Dan pada ketika itu,
tidak ada yang lebih menyakitkan
selain melihat tulisan tangan kita sendiri
yang begitu buruk,
yang kita tahu sangat bisa kita hindari,
tetapi kita sengaja biarkan tercetak di sana
karena kita merasa masih ada esok hari
untuk bertobat.
Kini tidak ada lagi esok hari.
Yang ada hanya pembacaan,
pertanggungjawaban,
dan penyesalan.
Saksi-Saksi Pun Dihadirkan
Para nabi tampil memimpin.
Para malaikat berdiri lurus sebagai saksi.
Tangan kita berbicara.
Kaki kita melaporkan.
Kulit kita mengungkapkan
apa yang dulu kita lakukan di balik pintu tertutup.
Tidak satu lidah pun bisa berdusta.
Karena pada hari itu,
yang berbicara bukan mulut,
melainkan perbuatan.
Betapa Perihnya Penyesalan yang Terlambat
Saat halaman demi halaman dibacakan,
kita akan mengenali semuanya:
"Ah, ini hari ketika aku marah tanpa sebab...
Ini hari ketika aku memutuskan menunda shalat...
Ini detik ketika aku menolak membantu...
Ini momen ketika aku memilih ego daripada kebaikan."
Dan di sela-sela itu kita akan bergumam:
"Seandainya waktu dikembalikan...
Seandainya aku dulu lebih menahan diri...
Seandainya aku dulu lebih bersyukur..."
Tetapi tidak ada kembali.
Tidak ada ulang.
Tidak ada revisi.
Tulisan itu sudah kering.
Lembaran itu sudah mengeras.
Namun Hari Ini, Sebelum Segala Hal Terlambat
Kita masih duduk di bawah langit yang luas,
di atas tanah yang masih mencatat,
dengan tubuh yang masih diberi kesempatan
untuk menambah halaman kebaikan.
Kita masih bisa menulis:
satu sedekah kecil,
satu senyum tulus,
satu maaf yang kita berikan,
satu dosa yang kita tinggalkan,
satu air mata yang jatuh dalam sujud panjang.
Semua itu menjadi huruf-huruf cahaya
yang kelak menyelamatkan kita
ketika bumi berubah menjadi kitab yang tak dapat dibohongi.
Hidup Ini Hanya Sekali
Dan penyesalan terbesar seorang hamba
bukanlah dosa yang pernah ia lakukan,
tetapi kebaikan yang ia tunda,
amal yang ia abaikan,
kesempatan yang ia biarkan lewat
hingga waktu berkata:
"Sekarang sudah tidak ada lagi yang bisa kau tulis."
Semoga kita menjadi orang-orang yang menulis halaman-halaman indah,
sebelum kitab itu dibuka di hadapan seluruh makhluk.