Kisah PNS Asyik Bertani Di Sebuah Kebun Mini Miliknya, KS Garden Kuansing Namanya. (Kebun Buah Yang Disinari Matahari, Sayuran Yang Berwarna Cerah, Mimpi Yang Dipanen, Keranjang Berlimpah, Usaha Yang Membuahkan Hasil, Akar Yang Bersemangat, Panen Manis, Dari Ladang Ke Meja Makan😅)
Pejuang Mimpi Episode 73
Orang Tua Perlu Punya Dua Skills. Satu Regulasi emosi, Kedua Komunikasi
"Orang tua perlu punya dua skills. Satu regulasi emosi, kedua komunikasi. Kalo dia bisa regulasi emosinya..., dia akan tenang menghadapi anaknya mau ngereok kayak gimana juga. Dan dia ga akan..., termakan apapun yang upaya-upaya dilakukan anaknya diluar aturan yang sudah diberikan. Karena dia punya komunikasi yang baik sama anaknya. Kenapa? Dia bisa tenangin anaknya. Nah, orang tua kan seringnya, "__ga tau nih..." dua hal itu. Jadi ya..., suka-suka mereka. Dipikir..., cukup ngasih makan..., cukup nganterin ke sekolah..., __itu udah bisa bikin anak menjadi dewasa dan bekal masa depannya. Tapi ternyata, enggak".
Kadang, sebagai orangtua kita sering disilaukan oleh banyaknya penghasilan yang didapat jika karir kita bagus. Tapi, apalah arti dari banyaknya penghasilan yang diperoleh, jika anak-anak kemudian tidak merasa bahagia? Bahkan mungkin mengalami "gangguan perkembangan"? Bukankah tujuan semua orangtua bekerja hanya untuk kehidupan anak yang lebih baik dan lebih bahagia? Inilah yang sebenarnya paling sering saya dengar di telinga saya. Hahaha.
Dan, untuk itu..., __saya berkaca dan bertanya dalam lubuk hati; Â "Apakah anak saya sudah bahagia?", "Sudahkah saya memberikan perhatian untuknya hari ini?", "Berapa kali dia tersenyum dan memeluk saya hari ini?". Jawabannya mungkin beragam. Simak storytelling KS di episode ini "Orang Tua Perlu Punya Dua Skills. Satu Regulasi Emosi, Kedua Komunikasi".
Saya mau share, ada banyak cara untuk belajar menjadi orang tua. Kita bisa belajar keterampilan mengasuh anak dari orang tua kita..., kita bisa juga belajar keterampilan mengasuh anak dari mengamati orang lain..., kita bisa belajar keterampilan mengasuh anak dari buku, media, dan para ahli. Dan bahkan...., kita bisa belajar keterampilan mengasuh anak dari anak-anak kita.
Nah, itu kedengarannya seperti beberapa keterampilan mengasuh anak yang cukup hebat, bagi saya. Mari kita bertanya, "Sudahkah Anak Bahagia?". "Berapa lama kira-kira kita menghabiskan waktu bersama anak dalam sehari?". "Sudahkah kita memberikan perhatian untuknya hari ini?", "Berapa kali dia tersenyum dan memeluk kita hari ini?".
Semua pertanyaan tersebut telah mengingatkan saya untuk terus berbenah diri dan belajar menjadi orangtua yang lebih baik. Serta, menjadi orangtua yang bisa membahagiakan anak-anak. Meskipun tidak ada orangtua yang sempurna..., namun setiap orangtua bisa belajar menjadi sedikit lebih sempurna setiap harinya. Kita tidak harus dibesarkan oleh orang tua yang kuat untuk menjadi orang tua yang kuat. Ada harapan bagi kita semua. Apa yang telah atau belum kita pelajari sejauh ini tidak penting. Yang penting adalah kita terus belajar.
Pengalaman Pribadi;
Saya tidak akan malu mengakui bahwa jawaban saya mungkin beragam, karena kehidupan yang saya laluipun juga beragam. Saya pernah menghabiskan waktu selama 24 jam penuh bersama anak, karena anak saya masih bayi. Nah, pertanyaan berikutnya adalah apakah anak saya bahagia? Mungkin saya menjawab "Ya anak saya bahagia karena dia bersama saya terus setiap hari", atau "Tentu saja anak saya bahagia". Namun, tidak ada seorangpun yang bertanya pada saya waktu itu, tentang bagaimana pengalaman KS sebagai ibu muda baru yang belum banyak mengerti mengurus anak. Yang ada hanyalah, Ibu KS yang bawel dan suka ngomel BLA BLA BLA, ga bisa diam. "Ayo begini KS, ga boleh begitu KS, selesaiin urusanmu satu-satu, KS!".
Suami saya terpaksa meninggalkan saya setelah habis masa cutinya, ia akan kembali bekerja ke kota lain. Saya juga memilih tinggal, dan orang tua juga memaksa tinggal. Because..., saya ga dipercaya orang tua mengurus bayi xixixi. Simpel sih, alasannya. Cuma fatal, wkwkka.
Jadinya ya, saya dirasa menjadi seorang ibu muda yang panikan gitwoo. Semua panik..., saya panik..., ibu saya pun lebih panik. Ha, bagaimana ceritanya tentang kepanikan itu bermula?
Begini awal ceritanya. Anak menangiiis aja setiap tengah malam. Sebagai ibu muda baru yang polos gitu yaah, saya ga tau cara dieminnya waktu itu. Hh, kalo diingat-ingat lagii, ah saya mau ketawa sekarang. Mana anak awak rewel tiap malam. Sedemikian reweel sampai-sampai saya halu, saya mendengar suara-suara jahat yang hendak melukai bayi saya. Apakah itu suara syaitan? Wallahu Alam.
Saya takut lihat pisau, gunting dll. Saya nggak berani memandikan anak dan menggunting kukunya. Pernah saya menyusui malam-malam, dan ketiduran. Bayi saya melorot sampai hampir jatuh. Saya menangis sejadi-jadinya. Begitu saya sadar kondisi ini, saya cerita kepada suami pas ia pulang. Dia juga nggak ngerti sepenuhnya, tapi dia menatap saya dengan sangat khawatir. Saya cerita sama ibu saya. Eh, malah ibu saya yang dikit-dikit khawatir, dikit-dikit malah check..., check. Bagaimana ketahanan terhadap rasa sakit pasca operasi caesar? Check. Bagaimana air susu ibu? Check. Bagaimana pendengaran super, saat anak mulai rewel? Check. Intuisi tinggi? Check. Super high attention to detail? Check. Bagaimana perut yang empuk buat tiduran anak? Check. A woman bleeds and risking their life for a new life huahaha.
Saya benci ledakan emosi..., dan nggak menerima emosi tsb sebagai bagian dari saya. Saya orang yang logis dan jarang meledak. Malah kadang dingin dan penuh perhitungan. Belakangan saya sadar mungkin saya sebenarnya dulu terlihat dingin karena menahan emosi. Sebelum punya anak, saya melihat diri saya seperti itu. Rasanya tuh sebeeeel banget sama orang yang baperan atau ibu-ibu yang merasa gak berdaya tanpa suaminya. Ternyata saya depresi, xixixi. Saya mengalami baby blues karena saya nggak bisa apa-apa. Yang tadinya saya merasa bisa apa aja, ha jadi nggak berdaya juga, hahaha. KS jadi ling-lung..., butuh bantuan untuk hal-hal yang padahal keciil bangett. KS yang logis, eh jadi emosional. Rupanya tekanan darah tinggi diatas normal. Panik. Sampai sekarang setiap lihat foto bayi sakit atau balita kecil kenapa-kenapa, pasti langsung mewek.
Kalo diingat-ingat lagii..., saya baby blues tu saat kak Ara usia satu bulan. Saya tiba-tiba pingsan aja di kamar mandi. Entah apa sebab. Rasanya saya cuma kerja berat saat itu menjemur pakaian bayi. Ga lebih. Pusing kepala, ternyata sudah pingsan aja.
Rasa ketakutan barangkali yang berlebihan pada waktu itu muncul pada ibu muda baru. Saya takut inilah, takut itu. Ga boleh makan ini. Ga boleh itu. Terlalu banyak aturan. Sementara saya tanpa sadar kadang mau gerak aja pengen nendang bola ke gawang. Dikit-dikit dilarang. Awak aja ga bisa tunak, wkwk. Batuk aja susah, sakiiit. Pokoknya, berkecamuk aja, itu pikiran. Kayaknya saya memang harus belajar lebih banyak lagii, dan membaca lebih banyak lagi tentang parenting. Saya menukis pesan pada suami waktu itu yang hanya dibalas dengan sesumbar senyum. "Uggh. Benar-benar ribet ya, jadi perempuan". Ia senyum aja. Saya balas sekali lagi, "ini jawaban kamu tersingkat dan terpadat abad ini". Balasannya cuma emot tertawa. Males saya pegang hape, saya beralih ke kertas putih. SMS bukanlah solusi.
Saya tulislah semua ketakutan saya di selembar kertas A4. Saya lipat 2. Di sebaliknya, saya tulis semua solusinya. Saya pegang kertas itu baik-baik..., bagian solusi diatas. Nampaknya..., saya harus fokus kepada solusi. Dalam sebulan perlahan saya menemukan 'solusi'nya satu demi satu. Kertas masalah pun saya sobek kecil-kecil, dan..., __saya buang. Belakangan saya baru tau kalau itu salah satu metode penerimaan dalam suatu kelas manajemen emosi.
Mungkin itu cara Allah mengingatkan saya tentang peran saya sebagai seorang wanita, seorang ibu. Dulu saya suka sebeel tau nggak, kenapa sih perempuan harus pakai jilbab, kenapa pada baper banget, kenapa ibu-ibu harus bawel, kenapa gak boleh kemana-mana, kenapa begini dan kenapa begitu. Kenapa sih perempuan harus sakit haid, kenapa harus sakit begini saat melahirkan, dsb.
Ternyata pertanyaan-pertanyaan saya jawab. Saya, seorang wanita, mengandung kehidupan dan melahirkannya. Menjaga dan membesarkan seorang manusia. Dan itu sungguh merupakan kemuliaan besar yang hanya diberikan oleh Allah kepada wanita. Semua yang dimiliki wanita, yang nggak dimiliki oleh seorang pria, semua itu untuk menjaga dan membesarkan anak-anaknya.
Ha. Saya bersyukur. Baby blues itu ternyata telah membuka hati dan pikiran saya terhadap kebesaran Allah. Saya hidup, dicintai, mencintai. Saya menerima diri saya yang penuh kekurangan, menerima bahwa ekspektasi saya terlalu tinggi, menerima bahwa sekuat apapun manusia berusaha, hanya Allah yang Maha Memberi. Qadar Allah tak terelakkan. Saya meminta dan memberi maaf kepada diri, kepada orangtua, kepada suami, kepada Allah SWT. Di tingkat kepasrahan itu saya memperoleh kemudahan.
6 Bulan kemudian saya masih mendengar suara-suara. Saya tak tahan ingin beraktivitas lagi, buat usaha sendiri lagi dan kemudian mantap berhijab. Tepat setahun suara-suara itu lenyap. Saya memilih solusi, berdamai dengan diri sendiri.
Saya ingat, ketika saya hanya memiliki satu anak, yang berusia 18 bulan. Saya mengelola minimarket sambil menjadi kasir sekaligus menjaga anak. Dengan tenang saya mengabaikan balita saya yang mengamuk di antrean kasir di toko kelontong saya, orang-orang berbicara dengan ramah kepada kasir. Saya, mengabaikan pandangan orang-orang yang menghakimi di sekitar saya. Setelah tidak ada yang berbelanja, Ayah saya akan menggantikan posisi saya. Saya baru memiliki karyawan dua orang. Itupun hanya bagian display dan etalase. Sekian pasang mata melihat saya yang membiarkan anak menangis. Mungkin ia lelah, begitu kata mereka. Mungkin ia haus, mungkin ia ngantuk, mungkin ia ingin dipeluk atau ia ingin digendong. Saya hanya kasih kode sambil menatap mata anak saya, dan meletakkan jari telunjuk saya ke mulut saya. Saya bilang ssstt..., lembut sekali. Anak diam sejenak. Perlahan semua perbelanjaan selesai. Itu artinya..., saya akan segera memeluk anak saya.
Lalu saya dengan tenang berjalan ke mobil, di mana saya mengikat balita saya yang berusia 2 tahun yang rewel itu ke jok dan menyetir. Saya dan bayi saya menyempatkan jjs alias jalan-jalan sore sambil mengobrol dan pulang saat anak saya tertidur. Saya mengerti bahwa saya adalah orangtua, orang dewasa dan saya juga mengerti bahwa anak saya hanya sedang lelah. Saya tidak kehilangan kendali atau menyuapnya atau membiarkan tatapan tajam pembeli lain mengganggunya.
Ketika putri pertama saya berusia 3 tahun, beda lagi ceritanya. Saya tak lagi 24 jam bersama anak. Saya menghabiskan waktu dengan si kecil hanya lebih dari 15 jam sehari karena saya adalah Ibu rumah tangga dan hanya berpisah dengan anak saat ia berangkat sekolah. Di sinilah saya, mempelajari keterampilan mengasuh anak sembari berwirausaha yang saya dapat dari saya belajar keterampilan mengasuh anak dari orang tua saya yang dulunya juga seperti kisah saya ini. Saya dari bayi tu juga terpaksa diajak berdagang, wkwka. Terpaksa sih awalnya, karena ibu saya tidak sanggup menggaji pembantu. Lama-lama saya besar jadi terbiasa. Kita kan, bisa karena terbiasa. Itulah mengapa saya senang sekali menulis kisah ini, sehingga saya selalu menjadi ibu yang belajar paling banyak! Sampai hari ini, saya ingat betul kisah ini ketika anak kedua saya juga mengamuk di depan umum, dan kisah anak pertama itulah yang senantiasa menginspirasi saya untuk melakukan hal yang jauh lebih baik lagi.
Ada banyak cara untuk belajar menjadi orang tua. Kita bisa belajar keterampilan mengasuh anak dari orang tua kita..., kita bisa juga belajar keterampilan mengasuh anak dari mengamati orang lain..., kita bisa belajar keterampilan mengasuh anak dari buku, media, dan para ahli. Dan bahkan...., kita bisa belajar keterampilan mengasuh anak dari anak-anak kita.
Suami saya, setiap pulang kantor dengan senang hati memberikan saya hadiah tabloid tentang parenting, majalah tentang memasak. Tujuannya tak lain adalah supaya saya bisa memasak dan mengurus anak dengan tenang. Tidak menjadi ibu muda yang panikan. Dan ia juga memberi saya buku best seller sepulangnya ia dari luar kota, bahkan novel. Novel pertama yang ia belikan, saya ingat sekali judulnya "Sang Pemimpi".
Disaat anak berusia memasuki 4 tahun itu pulalah, saya justru menghabiskan waktu dengan anak hanya selama 12 jam sehari karena saya sibuk lagi bekerja kantoran. Saya diutus waktu itu untuk diklat industri selama sebulan di Padang. Saya ingat benar, betapa sulitnya saya dan anak saya sesaat akan berpisah pertama kalinya. Anak menangis sejadi-jadinya tak ingin berpisah dari ibunya. Lalu, ia demam. Badannya panas. Panas sekali. Ia terpaksa dikasih obat oleh Papanya hingga ia tertidur lelap. Ara dan Papanya kemudian pulang bersama nenek. Dan saya tinggal di Padang, hampir sebulan.
Saya menulis ini; "Saya tidak tahu apakah anak saya bahagia karena saya sibuk bekerja, dan waktu bersama kami hanya sebentar dalam sehari.". "Saya tidak tahu apa yang sebenarnya dirasakan oleh anak saya. "Saya hanya melihat ciri kebahagiaan anak saya melalui hal yang kasat mata, atau melalui ciri fisik. Satu jam sebelum berpisah, saya membelikannya boneka Pooh untuknya, anak terlihat masih bisa bermain dan tertawa". "Tapi, terlepas dari apakah anak saya sudah bahagia atau belum, sebagai orangtua tentunya saya memiliki keinginan untuk membahagiakan anak dengan cara yang beragam". "Entah itu dengan membelikan banyak mainan..., atau saya mempekerjakan pengasuh agar anak selalu memiliki teman bermain atau dengan cara berada di sampingnya selama seharian penuh". "Ah, tidak! Saya tau, tidak semua cara ini sebenarnya berhasil membuat anak bahagia". "Anak-anak pada dasarnya kan, tidak butuh banyak mainan agar tidak merasa bosan di rumah, juga tidak terlalu butuh pengasuh untuk mengajaknya bermain, serta mungkin juga tidak butuh kehadiran orangtua dalam seharian penuh". "Anak hanya butuh perhatian yang penuh dan tulus dari saya, orangtuanya". "Jika anak bisa mengungkapkan ini dengan baik, anak-anak mungkin akan menukarkan semua mainan mahalnya itu, atau menukarkan pengasuhnya dengan perhatian dari saya". "Ya. Beberapa cara mungkin bisa saya tempuh, salah satunya adalah dengan membahagiakan anak melalui banyaknya perhatian dan cinta yang saya berikan". "Saya akan mengatakan "Ku Cinta Kamu" pada anak tiap harinya di hape, agar anak saya menjadi lebih bahagia, dan bertemu dengan anak serta memeluknya kembali, 30 hari setelah hari ini".
Padang, Kucinta Kamu.
***
Tidak ada rumus yang sederhana. Kita tidak secara otomatis diberikan keterampilan mengasuh anak yang hebat hanya karena kita memiliki anak. Kita tidak selalu tahu apa yang harus dilakukan. Dan, seperti yang kita ketahui, mereka yang memiliki lebih dari satu anak, setiap anak juga unik dan lahir ke dunia dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing yang harus kita pahami dan atasi.
Ada banyak cara untuk belajar menjadi orang tua. Kita tidak harus dibesarkan oleh orang tua yang kuat untuk menjadi orang tua yang kuat. Ada harapan bagi kita semua. Apa yang telah atau belum kita pelajari sejauh ini tidak penting. Yang penting adalah kita terus belajar.
Selama ini. Saya berfokus untuk memperoleh keterampilan mengasuh anak terbaik dari orang tua saya sendiri..., dari orang-orang di sekitar saya..., dari para ahli, dan dari anak-anak saya sendiri. Saya mendapati diri saya tumbuh sebagai orang tua. Dan, saat saya tumbuh, saya menginspirasi anak-anak saya untuk tumbuh juga. Nah, ini kedengarannya seperti beberapa keterampilan mengasuh anak yang cukup hebat, bagi saya.
Saat saya mempelajari keterampilan mengasuh anak, saya TUMBUH. Cara utama saya belajar menjadi orang tua adalah dengan mengamati orang tua saya sendiri. Sebagian dari saya diberkati dengan orang tua yang luar biasa yang menjadi contoh bagaimana menjadi orang tua yang sabar dan penuh kasih, bagaimana menangani perilaku yang tidak pantas, dan bagaimana bertanggung jawab sebagai orang tua dan melakukan "pekerjaan" kita sendiri juga. Sebuah keuntungan yang pasti dalam menjadi orang tua.
Â
Namun, banyak di antara kita yang tidak seberuntung itu. Mungkin kita memiliki orang tua yang berusaha melakukan yang terbaik, tetapi melakukan banyak kesalahan. Atau, orang tua yang tidak pernah bertanggung jawab atas perannya sebagai orang tua, yang tidak pernah menyadari bahwa mengasuh anak lebih banyak berkaitan dengan orang tua daripada anak . Atau, yang lebih buruk, memiliki orang tua yang tidak hadir, lalai, egois, atau bahkan kasar. Itu adalah kerugian yang pasti dalam mengasuh anak.
Bagaimana kita belajar menjadi orang tua jika kita tidak ditunjukkan caranya? Kita tidak harus meraih gelar doktor dalam keterampilan mengasuh anak untuk menjadi orangtua. Sekalipun contoh pola asuh kita kurang ideal, kita dapat memilih untuk mempelajari dan mempraktikkan keterampilan mengasuh anak, dan kita dapat mencari contoh pola asuh yang baik dan menirunya. Kita dapat meningkatkannya. Bukankah itu hebat? Yang dibutuhkan hanyalah komitmen untuk menjadi orang tua terbaik yang kita bisa.
Tidak ada kata terlambat untuk mencari contoh pola asuh positif dan menirunya. Kita bisa melihat tetangga, teman, saudara kandung, bibi atau paman, kakek-nenek, atau bahkan orang asing yang mengasuh anak-anaknya di mal.
Saya menemukan seseorang yang keterampilan mengasuhnya saya hormati dan kagumi meski hanya sekali bertemu di Mal. Saya  belajar keterampilan nengasuh anak dari mengamati orang lain.
Baik dari teman, tetangga, atau bahkan orang asing, banyak hal yang kita pelajari tentang mengasuh anak datang melalui nasihat dan contoh dari orang lain.
Itu saya mulai saat saya masih menjadi ibu muda baru. Saya melihat bagaimana kakek-nenek mengasuh anaknya atau orang tua teman-teman saya, atau orang dewasa lain dalam hidup saya. Saat saya menjadi orang tua, saya kemudian dapat mengamati teman-teman, tetangga, rekan kerja, atau bahkan orang asing, dan mempelajari kiat-kiat dan alat bantu saat saya memperhatikan cara mereka melakukan sesuatu.
Orang-orang dalam hidup saya akan melalui pengalaman yang belum saya tangani, dan, saat saya mengamati, saya dapat memperoleh pemahaman dan wawasan yang berharga. Misalnya, saya sekarang membesarkan satu putri remaja dan satu putra yang masih kanak-kanak dan baru akan beranjak remaja. Namun, beberapa tahun yang lalu, ketika saya belum memiliki anak remaja, seperti dalam Videoklip ini.
Saya juga mengamati teman-teman saya yang lebih tua dengan anak-anak remaja mereka. Kami berbicara tentang membesarkan putra-putri remaja, dan saya mendengarkan nasihat mereka. Itu sangat membantu, sekarang setelah saya berada di tengah-tengahnya. Dan, sangat membantu untuk mengetahui bahwa masa-masa sulit yang saya hadapi, mengasuh anak remaja, adalah hal yang normal.
Â
Selain itu, banyak anak yang melihat pola asuh yang buruk dari orang tua mereka sendiri mampu meniru orang lain dan belajar untuk menjadi lebih baik saat mereka tumbuh dewasa. Saya bisa lihat dari beberapa kasus yang tak sengaja saya simak ceritanya. Bayangkan..., seorang anak dari seorang pecandu alkohol, yang memutuskan sejak kecil bahwa ia tidak akan menjadi seperti ayahnya. Nice. Ia tidak memiliki contoh pola asuh yang baik, jadi ia mengikuti orang tua teman-temannya, guru-gurunya, dan pelatihnya. Ia meniru apa yang mereka contohkan, dan melakukan hal yang sebaliknya dari ayahnya. Dan suatu hari, ia menjadi ayah yang luar biasa, bijaksana, dan penuh kasih. Kita semua pernah mendengar kisah-kisah pola asuh yang menginspirasi seperti ini. Kisah ini, salah satunya teman saya.
Saya berkaca-kaca saat bertemu seorang teman yang saya tau dulunya bagaimana. Sekarang ia adalah ayah baik meski terlahir dari ayah yang jahat, mabuk-mabukan dan penjudi. Saya juga senang sekali mendengarkan kisah ibu baik yang terlahir dari ibu yang rusak. Ia mampu memutus kerusakan-kerusakan itu. Saya senang sekali membaca kisah-kisah inspiratif, apalagi yang menginspirasi itu adalah orang saya kenal. Saya tidak salut pada anak horangkaya. Tapi saya hanya akan salut pada mereka yang yang terlahir miskin lalu mampu memotong rantai kemiskinan itu. Kemudian, saya perhatikan. Saya dengarkan. Saya ajukan pertanyaan. Dan saya akan mencoba apa yang mereka lakukan, dan lihat apakah itu berhasil untuk saya dan anak-anak saya?
Kita semua dapat belajar dari mengamati keterampilan mengasuh yang hebat dari orang-orang di sekitar kita. Artinya apa? Setiap orang tua dapat mencari sumber daya yang luar biasa ini, entah itu dengan membaca..., menonton..., mendengarkan, maupun dengan menyerap semua saran yang bagus. Itu membantu kita menjadi yang terbaik, dan itu membuat kita tahu bahwa kita benar-benar tidak sendirian! Â
Â
Saat kita berkomitmen untuk belajar bersama anak-anak kita, kita menunjukkan kepada mereka bahwa kita bersama-sama dalam hal ini, __bahwa kita juga berusaha untuk menjadi lebih baik, bahwa kita mempraktikkan apa yang kita ajarkan. Kita membiarkan mereka melihat beberapa kegagalan, perjuangan, dan emosi kita, dan mereka dapat menyaksikan bagaimana kita menyelesaikan masalah. Kita menjadi contoh bagi mereka, dan mereka belajar dari contoh kita. Kita juga mendengarkan dan belajar dari anak-anak kita. Dan saat kita melakukannya, mereka merasa penting, dihormati, dan dicintai. Hubungan kita pun semakin erat.
Ya, orang tua terbaik adalah mereka yang terus belajar, dan tidak pernah berhenti belajar, entah itu dari anak-anak mereka.. , dan dari "tugas"nya menjadi orang tua. Bahkan, saya juga belajar keterampilan mengasuh anak dari anak-anak saya. Saya mengajar anak-anak saya, tetapi saya juga tahu bahwa anak-anak saya juga mengajar saya. Anak-anak saya adalah cermin. Melalui mereka, saya melihat kekurangan, kesalahan, dan kemanusiaan saya. Melalui mereka, saya melihat kekuatan..., bakat..., dan cinta saya yang dalam dan abadi. Yang terbaik dan terburuk dalam diri saya tercermin saat saya menjadi orang tua. Saat saya memperhatikan refleksi ini, saya belajar, saya berkembang. Dan, saya tumbuh.
And now, zaman berubah. Dan yang seperti kita lihat di e Mall..., fenomena sosial. Ada banyak sekali Ibu rumah tangga lebih mementingkan sosialita. Padahal mereka memiliki waktu yang panjang bersama anak-anaknya. Sayang ya..., si Ibu sering sibuk sendiri dan tidak mau terlibat dalam aktivitas anaknya. Bahkan..., banyak orangtua yang terkesan "lupa" melakukan hal penting untuk anaknya, seperti "menatap mata anak".
Menurut saya, dengan menatap mata anak saja, berarti cinta dan perhatian yang ingin saya sampaikan mudah ditangkap oleh anak. Dengan begitu, anak tentu merasa diperhatikan dan akhirnya merasa bahagia. Namun, banyak dari orangtua sekarang ini hanya menjawab saat anak bertanya atau "ngobrol", sedangkan mata mereka masih tertuju pada layar smartphone. Ya nggak? He-he-he. Disadari atau tidak kondisi ini tentu pernah kita alami juga sebagai orangtua.
Anak saya protes tuh, jika menjawab obrolan darinya masih saja memegang hape. Mungkin saya berdalih bahwa, sedang ada pekerjaan penting yang harus segera diselesaikan. Tapi, bukankah pekerjaan bisa menunggu? Bukankah pekerjaan bisa dikerjakan saat di kantor? Dan, apakah masa kecil anak-anak bisa menunggu?
Ha, saya mencoba memikirkan kembali hal ini, parents. Itulah kenapa setiap hari libur nasional tiba, hape saya sering saya matikan, wkwkka. Asal di cas, anak saya mencabutnya. Ha-ha-ha, apalagi bapaknya. Sama saja. Saat sedang mengobrol, tidak ada hape. Dan hape hanya akan hidup jika mereka sedang tidak ada saja. Sadeeestt.
Karena apa? Saya hanya tidak ingin seperti orang tua kebanyakan. Kebanyakan dari orangtua di jaman milenial sekarang ini, mungkin selalu berada di samping anak. Namun, tidak semua orang tua fokus memberikan perhatiannya pada anak. Beberapa orangtua seringkali sibuk dengan gadgetnya, sedangkan anak dibiarkan bermain sendiri. Akhirnya, bukan hanya rasa "tidak bahagia" yang dirasakan oleh anak, tapi juga "gangguan perkembangan", seperti speech delay (terlambat berbicara), takut berpendapat dan lain sebagainya.
Mari kita hadapi kenyataan, mengasuh anak adalah pekerjaan penuh waktu dan selamanya. Pekerjaan ini menuntut..., membuat frustrasi..., membebani, dan pastinya juga melelahkan. Pekerjaan ini juga menyenangkan..., mengejutkan..., menumbuhkan hati, dan merupakan berkat terbaik yang pernah kita impikan.
Setiap orang tua tahu bahwa menjadi orang tua adalah cara terbaik untuk mengembangkan keterampilan mengasuh anak. Dengan melakukan, kita belajar. Kita mungkin membuat kesalahan..., dan mengatakan serta melakukan hal-hal yang kemudian kita sesali, tetapi yang terpenting adalah kita mencoba.
Kita terus belajar saat kita mengasuh anak, atau setidaknya, kita memiliki kesempatan untuk melakukannya. Jika satu cara tidak berhasil, kita dapat mempelajari cara baru dan mencoba lagi. Kita tidak menyerah. Kita tidak menyerah. Kita tidak menyerah. Orang tua perlu punya dua skills. Satu regulasi emosi, kedua komunikasi.
#KSStory #KSFamily #KSMotivasi
#PejuangMimpi #Episode73
#OrangTuaPerluPunyaDuaSkills
#Reels #Fbpro #Fyp #Vod