Lama aku tersesat di gelap yang tak punya pintu pulang,
jatuh di pemikiran kiri yang menggerogoti harapan.
Saat langkahku hampir mati, engkau datang seperti cahaya,
membuatku percaya hidup masih punya alasan.
Engkau hadir lembut, seolah malaikat kecil yang turun diam-diam,
mengangkat sisa-sisa hatiku yang hampir punah di dalam ketakutan.
Tapi Tuhan tahu, aku terlalu cepat percaya,
dan engkau terlalu pandai menyembunyikan luka yang akan kau tinggalkan.
Kau ajarkan arti tenang saat dadaku penuh retakan,
kau ajarkan cara berdiri saat kakiku gemetar menahan kehilangan.
Namun di balik semua itu, kau sisipkan pelajaran kejam,
bahwa tidak semua yang datang membawa cahaya akan tetap bertahan.
Saat aku mulai mengulurkan hati yang selalu kalah,
kau robek kembali ruang yang baru saja belajar bernapas.
Harapan yang kau bawa berubah menjadi badai yang meruntuhkan,
membuatku kembali jatuh lebih dalam dari kejatuhan pertama.
Kini aku tenggelam lagi, tapi rasanya lebih mematikan,
seolah kau hidupkan sebentar lalu membiarkan aku mati pelan-pelan.
Engkau pergi tanpa suara, tapi gema kehilanganmu memekik,
membuat malam terasa seperti jurang tak punya dasar.
Aku menatap bayangmu yang hilang, mencoba mencari alasan,
mengapa cahaya seindah itu harus menjadi hukuman.
Mungkin aku ditakdirkan hanya mengenal hangatmu,
tanpa pernah punya kesempatan untuk memilikinya.
Dan kini aku mengerti sesuatu yang paling menghancurkan:
bahwa bukan gelap yang membunuhku,
tapi cahaya yang datang lalu pergi tanpa ampun.
Aku tetap di sini---sendiri, remuk, memeluk kehancuran,
sementara engkau berjalan pergi, membawa sisa cahaya terakhir yang kupunya.