Pegiat Literasi Publik, Pro Life Indonesia, Digital Journalism, Pengelola Jakarta News dan Ruang Biblika Kompasiana

Puing-puing Jiwa
Berserakan bersama Balok-balok sisa keserakahan dan kebodohan
Tak terhitung dengan pasti
Mereka belum tersentuh dan terlihat
Elang Pemangsa mendahului Insan
Menatap Sajian yang tersedia; tanpa lelah mencari
Di sisi lain, airmata kesedihan menatap lunglai
Tak berdaya, belahan diri sebagai santapan Si Pemangsa
Puing-puing Jiwa
Berserakan bersama Balok-balok sisa keserakahan dan kebodohan
Tak terhitung dengan pasti
Mereka belum tersentuh dan terlihat
Elang Pemangsa mendahului Insan
Menatap Sajian yang tersedia; tanpa lelah mencari
Di sisi lain,
Airmata kesedihan menatap lunglai
Tak berdaya, belahan diri sebagai santapan Si Pemangsa
Airmata kesedihan menatap lunglai
Tak berdaya, belahan diri sebagai santapan Si Pemangsa
(Opa Jappy)
Refleksi Komprehensif Puisi-Puisi Opa Jappy, Menganalisis Simbolisme, Kritik Sosial, dan Ekspresi Emosional dalam "Puing-Puing Jiwa"
Puisi-puisi Opa Jappy adalah karya puitis yang memiliki kekuatan ganda dan kedalaman tematik eksistensial dan intensitas ekspresi performatif melalui medium video pembacaan. Karya-karyanya secara konsisten mengangkat tema-tema mendalam seperti spiritualitas, kegelisahan sosial, tragedi kemanusiaan, dan pencarian makna hidup.
"Puing-Puing Jiwa"
Puisi ini adalah manifestasi konkret dari kegelisahan sosial yang diubah menjadi tragedi batin, menggunakan bahasa yang lugas namun kaya simbolisme.
Simbolisme Kritis dan Kritik Sosial.
Mengungkapkan penggunaan simbolisme tajam untuk menyerang kegagalan etika dan sosial. Frasa kunci "Puing-puing Jiwa" adalah simbol sentral melampaui kerusakan material; merujuk pada kerusakan spiritual dan moral yang diderita manusia.
Secara eksplisit mengidentifikasi akar masalah, _"Berserakan bersama Balok-balok sisa keserakahan dan kebodohan_".
"Balok-balok sisa," metafora pondasi atau struktur sosial yang runtuh karena dibangun di atas burknya etika.
Kritik sosial terhadap sistem yang abai sangat jelas ketika penyair menyatakan bahwa para korban "Tak terhitung dengan pasti / Mereka belum tersentuh dan terlihat". Ini menyoroti fakta bahwa penderitaan spiritual dan psikologis seringkali terabaikan oleh perhatian publik dan bantuan.
Memperkenalkan figur antagonis yang kuat: "Elang Pemangsa". Simbol predator sosial ini mewakili kekuatan eksploitatif---korupsi, oportunisme, atau kekuasaan yang kejam---yang mendapatkan keuntungan dari kekacauan. Mereka "mendahului Insan", menunjukkan kecepatan mereka dalam memanfaatkan krisis.
Korban hanya bisa menyaksikan tragedi yang menimpa "belahan diri" mereka (martabat, harapan, atau komunitas) yang kini menjadi santapan.
Penderitaan dan Keputusasaan Korban.
Penderitaan korban diungkapkan melalui visual yang menyentuh, "airmata kesedihan menatap lunglai". Ini adalah gambaran statis dari keputusasaan yang total, di mana korban tidak berdaya untuk melawan atau beraksi.
Pengulangan frasa penderitaan di akhir puisi menggarisbawahi rasa sakit yang berlarut-larut dan sifat tragedi yang tidak terselesaikan, menegaskan kembali status korban sebagai objek dalam rantai makanan sosial yang kejam.
Gaya Naratif dan Ekspresi Performatif. Puisi ini memanfaatkan format naratif dan performatif untuk meningkatkan resonansi temanya:
Narasi Kritis-Deskriptif: Puisi ini menggunakan narasi yang lugas untuk menggambarkan pemandangan yang menyakitkan, memudahkan audiens untuk langsung memahami kritik sosial yang disampaikan.
Peran Pengulangan: Pengulangan dua bait pertama dan penekanan pada frasa penderitaan berfungsi seperti refrain dalam lagu kesedihan. Pengulangan ini menggarisbawahi rasa sakit yang berlarut-larut.
Dampak Video Pembacaan: Dalam medium video, Opa Jappy mentransformasi kritik ini menjadi jeritan otentik. Ekspresi yang kuat pada kata-kata seperti "keserakahan" atau "Si Pemangsa" memastikan bahwa pesan puisi mendarat sebagai tuduhan yang intens dan bukan sekadar meditasi.
Seruan Hati Nurani
Puisi-puisi Opa Jappy, khususnya "Puing-Puing Jiwa," adalah pernyataan sosial dan moral yang tegas dan mendalam.
Melalui simbolisme yang kuat, puisi ini tidak hanya mendeskripsikan kondisi titik nol spiritual akibat krisis, tetapi juga secara eksplisit menunjuk sumber kehancurannya---keserakahan dan kebodohan. Karya ini berfungsi sebagai seruan batin dan sosial bagi kesadaran kolektif untuk mengakui korban yang tidak terlihat dan melawan "Elang Pemangsa" yang beroperasi di tengah puing-puing penderitaan.
(Opa Jappy Official, Universitas Indonesia)