Saya adalah mahasiswa UPI Prodi Pendidikan Teknologi Agroindustri, aktif dalam kegiatan akademik, seperti penelitian, presentasi, dan praktikum lapangan, serta memiliki pengalaman dalam penyusunan materi pembelajaran dan pengelolaan proyek pendidikan vokasional. Saya aktif dalam kegiatan organisasi kampus, seperti menjadi MC acara dan pengembangan konten edukatif untuk media sosial.

Mahasiswa dan penikmat film kembali dibuat haru melalui pemutaran dua film yang mengangkat kisah perjuangan di tengah keterbatasan, yaitu “Sintas Berlayar” (2021) karya sutradara Firgiawan dan “Negana” (2025) garapan sutradara Vania Qanita Damayanti. Kedua film ini menyoroti tokoh utama yang sama-sama terjepit kondisi sosial dan ekonomi, namun tetap berusaha bertahan dan mengambil keputusan di tengah tekanan hidup.
“Sintas Berlayar” menghadirkan kisah nyata Uus Usmawan, seorang nelayan penyandang disabilitas (tuna daksa) di Batu Karas, Pangandaran. Meski memiliki keterbatasan fisik dan pekerjaannya di laut penuh risiko, Pak Uus tetap berlayar demi menghidupi istri dan kedua anaknya. Celaan dan pandangan sebelah mata dari lingkungan sekitar tidak membuatnya surut langkah, karena ia meyakini bahwa kondisi yang dialaminya adalah bagian dari takdir yang harus dijalani dengan ikhlas. Film ini juga menampilkan kegelisahan sang istri dan anak-anak yang setiap hari menunggu kepulangannya, menunjukkan bahwa di balik sosok ayah yang tangguh, ada keluarga yang terus memanjatkan harapan dan doa di tepi pantai.
Sementara itu, “Negana” membawa penonton ke Palu, setahun setelah gempa bumi mengguncang kota tersebut. Di tengah proses revitalisasi yang masih berjalan, Gana, seorang remaja perempuan berusia 14 tahun, terpaksa menerima janji pernikahan dengan duda berusia 40 tahun demi meringankan beban ekonomi keluarga. Tinggal bersama tante dan paman di hunian sementara, Gana terus dihantui dilema antara bertahan pada keputusan keluarga atau melarikan diri dari nasib yang tidak ia kehendaki. Ketegangan batin Gana semakin kuat ketika setiap keinginan untuk kabur selalu diiringi datangnya gempa, seolah alam turut menjadi simbol dari ketakutan dan gejolak yang ia rasakan.
Melalui dua film ini, penonton diajak merenungkan kembali makna ketangguhan manusia dalam menghadapi situasi sulit. “Sintas Berlayar” menggambarkan kekuatan seorang ayah yang tidak menyerah pada keterbatasan fisik, sedangkan “Negana” menyoroti rapuhnya posisi anak perempuan ketika kemiskinan dan budaya saling bertemu. Keduanya menunjukkan bahwa di balik angka-angka statistik bencana dan kemiskinan, terdapat individu dengan cerita, harapan, dan pilihan yang sering kali harus dibayar mahal.

Sementara itu, “Negana” meninggalkan rasa sesak yang berbeda. Sulit rasanya tidak marah sekaligus iba melihat Gana yang masih sangat muda dipaksa mengalah demi keadaan ekonomi keluarga. Setiap kemunculan gempa saat ia ingin kabur terasa seperti simbol bahwa tekanan yang ia rasakan bukan hanya datang dari manusia, tetapi juga dari lingkungan dan trauma yang belum selesai. Kedua film ini bukan sekadar tontonan, melainkan pengingat bahwa di balik berita tentang kemiskinan, bencana, dan keterbatasan, ada orang-orang yang terus berjuang mempertahankan martabat dan harapan mereka.
Kontributor: Syifa Zahra
Editor: Salsa Solli Nafsika