Wijaya Kusumah
Wijaya Kusumah Guru

Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Video Pilihan

SIRKUS Pelatihan Guru Mengapa Sampai Terjadi?

29 Oktober 2025   12:12 Diperbarui: 29 Oktober 2025   12:12 138 3 3

Omjay guru blogger Indonesia/dokpri
Omjay guru blogger Indonesia/dokpri

Kisah Omjay hari ini tentang  Sirkus Pelatihan Guru: Mengapa Mutu Guru Tak Kunjung Meningkat? Siapa yang harus bertanggung jawab?

Oleh: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay)
Guru Blogger Indonesia


Ada satu tulisan menarik yang saya baca di media sosial, ditulis oleh Supri HS, yang menohok tapi jujur. Judulnya: "Inilah Alasan Mengapa Mutu Guru Tak Kunjung Meningkat, Padahal Pelatihan Sering Diadakan."
Tulisan itu menggambarkan dengan satire realitas yang kerap terjadi di dunia pendidikan kita --- terutama dalam hal pelatihan guru.

Supri menyebutnya "Sirkus Pelatihan Guru." Sebuah istilah yang begitu pas menggambarkan suasana di banyak kegiatan pelatihan yang saya pun, sebagai guru yang sudah berpuluh tahun ikut dan menjadi narasumber pelatihan, merasakan sendiri.

1. Pelatihan yang Jadi Ajang Seremonial

Benar sekali apa yang dikatakan penulis. Banyak pelatihan guru yang seolah hanya menjadi ritual rutin, bukan wadah peningkatan mutu yang sesungguhnya.
Setiap bulan atau tahun, pelatihan digelar dengan penuh semangat di awal --- ruangan ber-AC, banner besar dengan jargon "Transformasi Pendidikan", narasumber terkenal, bahkan disiarkan di media sosial.
Namun, setelah acara usai, guru kembali ke sekolahnya, lalu... tidak ada perubahan berarti.

Saya sering menyebutnya: pelatihan yang menggembirakan tapi tidak mencerdaskan.
Gembira karena suasananya meriah, tapi tidak mencerdaskan karena ilmunya tidak mengakar.

2. Seleksi Peserta Berdasarkan Relasi, Bukan Kompetensi

Dalam tulisan Supri, ia menyinggung dengan halus tapi tajam bahwa peserta pelatihan seringkali adalah "Superstar lokal" --- wajah-wajah yang sama dari satu kegiatan ke kegiatan berikutnya.
Saya pun tersenyum getir membacanya, karena memang demikian adanya di banyak tempat.

Kadang, yang menentukan bukan kompetensi, melainkan kedekatan.
Siapa yang sering "menyapa panitia", rajin ikut rapat zoom, atau aktif di grup WhatsApp pengurus, biasanya lebih mudah terpilih.

Padahal, seharusnya pelatihan diberikan kepada guru-guru yang benar-benar membutuhkan peningkatan kapasitas.
Guru-guru di pelosok, di sekolah kecil, di madrasah swasta, di daerah tertinggal --- mereka yang seharusnya diberi ruang lebih besar untuk belajar.
Namun sayangnya, mereka jarang tersentuh.

3. Ilmu Salah Kaprah dan Imbas yang Salah Arah

Ketika peserta pelatihan tidak diseleksi dengan baik, maka hasilnya pun mudah ditebak.
Begitu kembali ke daerah, mereka ditugaskan menjadi narasumber pengimbas, tapi justru membawa ilmu yang belum matang --- bahkan salah konsep.

Saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana pelatihan yang seharusnya mengajarkan Pembelajaran Berdiferensiasi malah diubah menjadi lomba PowerPoint penuh clipart dan efek animasi.
Konsep merdeka belajar diterjemahkan menjadi "bebas tidak mengajar", dan coaching diartikan sebagai "memotivasi sambil bercanda di depan kelas."
Lucu, tapi menyedihkan.

Lebih parah lagi, saat pelatihan berubah jadi ajang ice breaking tanpa substansi. Peserta disuruh berjoget atau bernyanyi sepanjang sesi, sementara inti materi terselip di antara gelak tawa dan foto-foto untuk media sosial.
Hasilnya: guru pulang dengan sertifikat yang berkilau, tapi kepala yang tetap kosong.

4. Pelatihan Harus Berorientasi pada Dampak, Bukan Seremonial

Saya sepakat dengan penulis bahwa pelatihan tetap penting.
Namun, pelatihan yang benar adalah pelatihan yang menghasilkan perubahan perilaku dan peningkatan kompetensi nyata di kelas.

Kita perlu bergeser dari pelatihan gaya seminar ke pelatihan berbasis praktik.
Misalnya, guru tidak hanya mendengarkan teori, tapi langsung membuat proyek pembelajaran, menguji di kelas, lalu mendapat umpan balik nyata dari fasilitator.
Barulah proses belajar itu hidup dan berdampak.

Selain itu, hasil pelatihan seharusnya diukur dari perubahan pada siswa, bukan dari jumlah sertifikat yang dibagikan.
Apakah siswa lebih aktif belajar?
Apakah guru lebih reflektif dan kreatif?
Itulah indikator yang sebenarnya.

5. Komentar Omjay: Dari Pengalaman Pribadi

Sebagai seorang guru yang sudah sering mengikuti berbagai pelatihan --- dari tingkat lokal hingga nasional --- saya bisa merasakan betapa pentingnya niat dan proses belajar yang tulus.

Saya dulu sering ikut pelatihan tanpa berharap apa-apa, selain ilmu dan jaringan pertemanan. Tapi yang saya lihat sekarang, banyak peserta ikut pelatihan bukan untuk belajar, melainkan untuk mendapat sertifikat, tunjangan, atau peluang promosi.
Padahal, nilai seorang guru tidak diukur dari berapa banyak sertifikatnya, tetapi dari seberapa banyak muridnya tumbuh karena bimbingannya.

Kalau pelatihan hanya menjadi ajang formalitas, maka kita sedang mendidik generasi yang juga akan memandang pembelajaran sebagai formalitas.
Kita harus berhenti dari pola pikir itu.

Guru tidak boleh hanya menjadi penonton dalam sirkus pelatihan.
Guru harus menjadi pemain utama dalam panggung pembelajaran nyata --- di kelasnya sendiri, di lingkungannya sendiri.

6. Saatnya Ganti Resep

Saya setuju dengan ajakan Supri: pilih peserta berdasarkan hasil cek kompetensi, bukan kedekatan emosional.
Gunakan data riil dari sekolah, hasil supervisi kepala sekolah, atau asesmen profesional untuk menentukan siapa yang layak ikut pelatihan.
Dan setelah pelatihan, wajib ada tindak lanjut nyata --- misalnya pendampingan, komunitas belajar, dan publikasi hasil praktik baik.

Saya bermimpi suatu hari nanti, pelatihan guru tidak lagi diselenggarakan di hotel berbintang, tapi di kelas nyata, bersama murid-murid nyata.
Pelatihan yang tidak hanya melatih bicara, tapi juga melatih hati dan empati.
Karena sejatinya, guru tidak butuh pelatihan yang glamor, melainkan bimbingan yang membumi.

Buku kisah omjay/dokpri
Buku kisah omjay/dokpri

Penutup

Pelatihan guru seharusnya menjadi wadah suci untuk menyalakan kembali api semangat mendidik, bukan panggung sirkus yang penuh tepuk tangan palsu.
Guru yang baik lahir bukan dari banyaknya workshop, tapi dari kejujuran belajar dan ketulusan mengajar.

Maka, mari kita hentikan sirkus ini, dan mulai membangun teater pembelajaran sejati, di mana setiap guru tampil sebagai aktor perubahan, bukan sekadar figuran dalam drama birokrasi pendidikan.

Bekasi, 29 Oktober 2025
Omjay --- Guru Blogger Indonesia
Blog https://wijayalabs.com

Omjay guru smp labschool jakarta/dokpri
Omjay guru smp labschool jakarta/dokpri