Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.

Kisah omjay kali ini tentang Info tpg guru yang lambat cairnya. Inilah kisah Omjay setelah mendengarkan laporan kawan-kawan guru yang lambar pencairan dana tunjangan profesi guru atau sertifikasi.
Derita Guru Sepanjang Masa: Ketika TPG Tak Kunjung Cair Juga
Oleh: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay)
Guru Blogger Indonesia -- Anggota PGRI
"Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa."
Kalimat itu indah, tetapi di baliknya tersimpan derita panjang yang belum juga berakhir.
Hingga kini, banyak guru di berbagai daerah masih mengeluh karena Tunjangan Profesi Guru (TPG) mereka belum cair. Padahal mereka sudah lulus PPG (Pendidikan Profesi Guru), memiliki gelar G.r, dan melaksanakan tugas mengajar dengan penuh tanggung jawab.
Suara Ketua Umum PB PGRI: "Apalagi Kalau Keluarga Lapar"
Ketua Umum PB PGRI, Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd, menegaskan bahwa banyak laporan masuk dari daerah, termasuk dari guru-guru agama Kristen di bawah Kementerian Agama yang belum menerima hak mereka.
"Meskipun menjadi kewenangan pusat yang konon ditransfer langsung ke rekening guru, kenyataannya izin untuk mentransfer masih di bawah. Syarat 24 jam mengajar tetap jadi keharusan karena itu ketentuan undang-undang. Padahal, aturan dari kementerian yang memperbolehkan 16 jam tatap muka tidak berlaku. Derita guru sepanjang masa. Kalau kebijakan tidak konsisten, bagaimana guru bisa fokus mengabdi? Apalagi kalau keluarga lapar," ujar Bunda Unifah dengan nada getir.
Kata-kata itu menggugah nurani kita semua. Di satu sisi, guru dituntut profesional dan berdedikasi. Namun di sisi lain, hak-hak dasar mereka sering tersendat karena birokrasi dan ketidaksinkronan kebijakan.
Kebijakan Indah di Atas Kertas, Pahit di Lapangan
Guru Maksimus Masan Kian dari PGRI Nusa Tenggara Timur menambahkan:
"Semua yang indah di Permendikdasmen Nomor 11 Tahun 2025 itu di lapangan pepesan kosong. Kementerian Pendidikan merasa berhasil dengan program PPG, tapi di lapangan guru-guru kesulitan mendapatkan TPG. Banyak yang tidak valid. Seharusnya TPG melekat pada gaji dan diberikan setiap bulan kepada mereka yang sudah bergelar G.r."
Suara ini menggema di seluruh pelosok negeri. Guru-guru di daerah pedalaman, dari Sabang hingga Merauke, menghadapi kenyataan pahit yang sama: data tidak valid, jam mengajar kurang, atau proses verifikasi lambat.
Padahal, setiap bulan guru tetap berangkat ke sekolah, mengajar, membimbing, dan mendidik generasi bangsa dengan sepenuh hati.
Kisah Nyata: Omjay dan TPG yang Tertunda
Saya sendiri, Omjay, mengalami hal serupa. Bulan demi bulan menunggu pencairan TPG, namun dana belum juga masuk.
Akhirnya, saya mencoba menghubungi Pak Temu Ismail, Sekretaris Dirjen GTK, dan berkat bantuan beliau serta Pak Dicky dari Kemdikdasmen, akhirnya TPG saya bisa cair.
Namun, saya sadar bahwa tidak semua guru memiliki akses komunikasi seperti itu.
Banyak guru di pelosok Indonesia hanya bisa menunggu, pasrah, dan berharap sistem segera bekerja.
Suara dari Kementerian: Ada Proses yang Harus Dibenahi
Ketika dikonfirmasi, Sekretaris Direktorat Jenderal GTK, Temu Ismail, menjelaskan bahwa keterlambatan pencairan TPG seringkali disebabkan oleh proses verifikasi data dan validasi jam mengajar yang belum sempurna.
"Kami memahami keluhan para guru. Kami terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan Kementerian Keuangan untuk mempercepat prosesnya. Prinsip kami sederhana: guru yang berhak harus menerima haknya," ujar Pak Temu.
Sementara itu, Perwakilan dari Direktorat Kemdikdasmen menambahkan bahwa pemerintah berupaya menyesuaikan regulasi agar persyaratan 24 jam tatap muka dapat lebih fleksibel, khususnya untuk guru di sekolah kecil atau daerah terpencil.
"Kami tidak ingin guru kehilangan haknya hanya karena kondisi geografis atau keterbatasan siswa. Regulasi baru sedang dikaji untuk menjamin keadilan bagi semua guru," katanya.
Ketidakkonsistenan Kebijakan: Akar Masalahnya
Permasalahan ini muncul karena ketidaksinkronan antar kebijakan: Undang-Undang, Peraturan Menteri, hingga sistem administrasi daerah.
Misalnya, aturan 24 jam tatap muka masih dijadikan patokan utama, padahal di lapangan tidak semua guru bisa memenuhi itu.
Bunda Unifah menegaskan,
"Kebijakan yang tidak konsisten akan mengganggu ruang berpikir dan pengabdian guru. Jika pemerintah ingin guru fokus pada peningkatan kualitas pembelajaran, maka kesejahteraan mereka harus dijamin tanpa syarat yang memberatkan."
Menutup Luka Lama Guru
Sudah saatnya pemerintah melihat TPG bukan sekadar angka transfer, tapi sebagai bentuk penghargaan negara kepada profesi mulia yang melahirkan jutaan anak bangsa.
Kita boleh berbicara tentang Merdeka Belajar, AI di sekolah, atau Transformasi Digital Pendidikan.
Namun semua itu tidak akan bermakna jika para gurunya masih berjuang hanya untuk mendapatkan hak mereka sendiri.
Guru tidak meminta istana.
Mereka hanya ingin haknya diberikan tepat waktu.
Karena di balik senyum sabar seorang guru, ada perjuangan yang tak selalu terlihat --- perjuangan melawan ketidakpastian.
Dan seperti kata Bunda Unifah,
"Apalagi kalau keluarga lapar..."
#PGRI #UnifahRosyidi #OmjayGuruBlogger #TPG #KesejahteraanGuru #PendidikanIndonesia #MerdekaBelajar
Salam blogger persahabatan Omjay/Kakek jay
Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay
Guru blogger indonesia
Blog https://wijayalabs.com
