Lemahabang, Pekalongan (07/02/2024) - Nama Desa Lemahabang tidak lepas dari sejarah masuknya agama Islam di Desa Lemahabang, serta tokoh-tokoh dibaliknya yaitu: Bupati Miroloyo, Ki Gedhe Kendhil Wesi, Ki Gedhe Tengger, Ki Gedhe Lemahabang (Syeikh Siti Jenar), dan juga Ki Gedhe Syeikh Urip (Ki Agung Soko Wiyono). Begitu pula dengan nama-nama dukuh di Desa Lemahabang yang tak lepas dari sejarah persebaran agama Islam. Hingga kemudian muncul berbagai macam versi cerita dari tokoh Masyarakat tentang awal mula penamaan dukuh-dukuh di Desa Lemahabang.
Dimulai dari dukuh pertama di desa Lemahabang yaitu Wero (Wira-Wiri). Tempat ini dinamakan Wiro atau Wira yang artinya 'orang yang berkarya'. Namun, Bahasa orang setempat tidak bisa menyebutkan kata Wira sehingga Masyarakat setempat menyebutnya sebagai Dukuh Wero.
Adapun Dukuh Rondongungak berawal dari kisah perempuan yang sedang kebingungan mencari suaminya yang meninggal. Kala itu janda tersebut sedang termenung dan ketika ditanya ia menengok dan menjawab bahwa ia sedang mencari suaminya yang meninggal. Maka dari itu dukuh ini dinamakan Rondongungak, yang mana dalam Bahasa Jawa 'Rondo' berarti 'Janda' sedangkan 'Ngungak' berarti melihat. Menurut cerita, janda tersebut Bernama Nyai Sarag Sangkrah.
Dukuh ketiga yaitu Dukuh Suroloyo berawal dari kisah pada zaman dahulu ketika orang-orang sedang bergeremun lalu menemukan senjata yang mirip dengan senjata milik Prabu Kresno dalam cerita pewayangan yaitu Cokro. Konon kala itu senjata ditemukan saat bulan Suro, sehingga nama dukuh ini disebut Suroloyo. Nama tersebut juga dikaitkan dengan nama Kahyangan dalam cerita pewayangan yaitu Suroloyo
Dukuh ke-empat berada di arah selatan dari dukuh Suroloyo. Di daerah tersebut ditemukan perkampungan yang memiliki dua gang atau jalan, sehingga dukuh tersebut dinamakan dukuh Duwagang. Adapun dukuh kelima dinamakan Dukuh Meranti karena perkampungan tersebut dikelilingi oleh pohon meranti.
Dukuh ke-enam berkaitan dengan penyebaran agama Islam oleh seorang Syeikh. Dahulu kala ditemukan rumah atau perkampungan yang berdiri di atas tanah berwarna merah maka dukuh tersebut dinamakan Lemahabang, Disana juga ada petilasan Syeikh Siti jenar dan biasanya petilasan Syeikh Siti jenar selalu dinamakan Lemahabang.
Dukuh ke-tujuh berada di paling timur wilayah desa Lemahabang. Berawal dari kondisi jalan sangat sulit, sempit dan berkelak-kelok. Tempat tersebut juga terdapat kumpulan rumah dengan kemungkinan Kampung paling akhir (Bagol: Jawanya). Di daerah tersebut juga terdapat Batu yang mirip Bogol Kayu. Sehingga Dukuh tersebut dinamakan Dukuh Bagol sampai sekarang.
Berkaitan dengan dukuh ke-delapan, ada yang mengatakan bahwa nama Sletong berawal dari kisah sekelompok orang di suatu perkampungan yang sedang mengijonkan (nyletongaken: Jawa) untuk kebutuhan hidupnya. Sehingga tempat tersebut dinamakan Sletong. Pergantian nama terjadi ketika masyarakat setempat menganggap nama Sletong tidak begitu baik, sehingga tahun 2006 era kepemimpinan Bapak Kepala Desa Suwarno Khaerudin , nama tersebut diganti dengan nama Mulyo Rejo sampai sekarang.
Dukuh ke-sembilan merupakan perkampungan yang lumayan besar. Konon dahulau kala ditemukan sebatang pohon langka dan orang sekitar menamakan pohon tersebut dengan sebutan pohon Bamban. Sehingga perkampungan tersebut dinamakan dengan Dukuh Bamban. Versi cerita lainnya menyebutkan bahwa nama Bamban dikaitkan dengan bahasa 'Mengayomi atau Among/Ngembani'. Kala itu memang terdapat sesepuh yang berwibawa baik dan bijak. Versi lainnya mnyebutkan bahwa Bamban merupakan dukuh yang menggambarkan bahwa di wilayah tersebut banyak anak kembar, dan nama-nama warga yang kembar/sama. Sudah menjadi sugesti bahwa bila ada pendatang yang berniat mempersunting gadis daerah bamban, besar kemungkinan kedepannya orang tersebut akan berhasil sampai dengan menikah dengan gadis Bamban.