Blogger yang sedang mencari celah waktu untuk membaca buku | Temui saya di tempat lain -> irerosana.com atau email : irerosana@gmail.com
Dari pintu selatan Stasiun Gondang Dia, berjalanlah ke arah selatan, melewati barisan kios-kios penjual makanan lalu berbelok ke arah kiri.
Sekitar 50 meter di seberang jalan kamu akan menemukan sebuah bangunan klasik bergaya era kolonial dengan dominasi warna putih yang masih berdiri kokoh hingga saat ini.
Di depan bangunan itu ada gapura melengkung bertuliskan "Masjid Cut Meutia". Hm, mungkin kamu akan berpikir, kenapa ada masjid namun bergaya arsitektur Kolonial? Mari kita cari tahu bersama!
Bangunan ini berdiri tahun 1912, tahun yang sama dengan tenggelamnya kapal pesiar nan megah, Titanic. Tepatnya 112 tahun yang lalu.
Bisa dikatakan juga bahwa bangunan ini adalah salah satu saksi sejarah berdirinya kawasan elit para petinggi Eropa di Menteng, Jakarta Pusat. Kala itu Belanda ingin mengadakan pemekaran wilayah di bagian selatan Weltevreden (daerah dari RSPAD Gatot Subroto hingga Museum Gajah). Tujuannya adalah untuk membatasi terbentuknya kawasan liar oleh penduduk pribumi.
Proyek ini dipimpin oleh seorang arsitek asal Belgia bernama P.A.J Moojen di bawah perusahaan yang bernama "Naamloze Vennootschap de Bouwploeg".
De Bouwploeg sendiri menjadi bangunan pertama yang dibangun untuk dijadikan kantor oleh biro arsitek tersebut. Setelahnya satu per satu bangunan lain juga dibangun termasuk Kunstkring, sebuah galeri seni sekaligus rumah prestisius bagi karya para seniman Hindia-Belanda.
Perumahan elit milik para petinggi kolonial itu memiliki luas hingga 69 hektar. Saking bagus dan miripnya dengan kawasan di Eropa, seorang arsitek dari Belanda yang bernama Berlage sampai-sampai memuji dan menyebutnya sebagai Europese Buurt (lingkungan Eropa).
Usai N.V de Bouwploeg kukut, gedung ini sempat difungsikan sebagai Provinciate Watastaat sebuah departemen yang mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan irigasi, sungai dan kawan-kawannya namun, masih juga membawahi pembangunan dan pengawasan pembangunan untuk gedung umum.
Setelahnya de Bouwploeg terus mengalami pergantian fungsi. Seperti pada perang dunia ke 2 sempat menjadi kantor pos pembantu oleh Angkatan Laut Jepang dan pernah juga dipakai sebagai kantor Jawataan Kereta Api Belanda. Hal ini terus bergulir hingga masa setelah kemerdekaan.
Dari tahun 1957 hingga 1970 bangunan ini mengalami 3 kali perubahan fungsi status mulai dari dinas perumahan, sekretariat DPR Gotong Royong hingga gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Butuh waktu yang tidak sebentar untuk gedung ini bisa menjadi sebuah masjid. Bahkan di era kepemimpinan Soeharto, gedung ini sempat mau dirobohkan demi kepentingan proyek pembangunan jalur rel kereta api. Untungnya masih banyak pihak yang menolak rencana tersebut hingga akhirnya di tahun 1961 dinobatkan sebagai cagar budaya.
A.H Nasution menjadi salah satu tokoh yang disebut-sebut berjasa dalam mengalihfungsikan bangunan ini menjadi sebuah masjid. Salah satu pertimbangannya kala itu adalah belum ada masjid di sekitar wilayah tersebut.
Akhirnya pada tahun 1987, bangunan itu disahkan melalui SK Gubernur DKI Jakarta No. 1584 sebagai sebuah masjid dengan nama Masjid Cut Muetia.
Untuk memenuhi kriteria sebuah masjid tentu saja bangunan ini butuh penambahan dan sedikit renovasi. Di antaranya tempat wudhu, Mimbar dan Mihrab. Beberapa ornamen kaligrafi pun dibubuhkan untuk menambah kesan islami.
Saat ini selain berfungsi sebagai tempat ibadah, Masjid Cut Meutia juga sering dipakai untuk kegiatan bertema keagamaan. Menarik, bukan?