agus hendrawan
agus hendrawan Guru

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Video Pilihan

Paradoks Anabul: Di Medsos Dipuja, di Kehidupan Nyata Terlantar

19 Oktober 2024   21:43 Diperbarui: 19 Oktober 2024   21:46 106 8 4

dokpri
dokpri

Di era media sosial, kita kerap menyaksikan berbagai konten tentang anabul kucing dan anjing kesayangan yang hidup dalam kemewahan. Mereka tampil dalam balutan pakaian lucu, bermain dengan mainan mahal, atau menikmati makanan premium. Namun di balik layar gemerlap tersebut, ada kisah lain yang jauh lebih menyedihkan: kucing-kucing terlantar yang dibuang begitu saja oleh pemiliknya, seperti fenomena memilukan yang terjadi di sekolah kami.

Anabul dan Ekspektasi Media Sosial

Kehadiran anabul kini tak sekadar tentang hubungan antara manusia dan hewan, ia telah menjadi bagian dari gaya hidup yang dipamerkan di media sosial. Pemilik anabul berlomba-lomba menampilkan hewan peliharaan mereka dengan segala kemewahan, menjadikan kucing dan anjing seperti status simbol. 

Sayangnya di balik tren ini, muncul perilaku yang paradoks. Tak sedikit orang memelihara kucing hanya karena ikut-ikutan, tanpa memahami komitmen dan tanggung jawab jangka panjang.

Ketika anabul mulai dianggap merepotkan atau tidak memenuhi ekspektasi, mereka dengan mudah dibuang tak lagi dianggap sebagai sahabat atau keluarga melainkan beban. Ironisnya, tren memuja anabul di media sosial justru bertolak belakang dengan kenyataan kucing-kucing terlantar yang kami saksikan setiap hari di lingkungan sekolah.

Sekolah Kami: Rumah Bagi Kucing Terbuang

Di tempat kami belajar dan mengajar, kucing-kucing terlantar menjadi pemandangan sehari-hari. Banyak dari mereka adalah hewan peliharaan yang pernah dirawat dengan baik, tetapi kini dibiarkan berkeliaran tanpa tujuan. 

Kucing-kucing ini datang dalam kondisi kurus, sakit, dan kelaparan. Beberapa di antaranya bahkan masih mengenakan kalung, tanda bahwa mereka dulunya milik seseorang.

Kami menduga bahwa sebagian pemilik tidak sanggup lagi memelihara mereka karena berbagai alasan: kesulitan ekonomi, kurangnya waktu, atau sekadar bosan. Dan akhirnya, sekolah kami yang seharusnya menjadi tempat belajar bagi siswa menjadi tempat terakhir bagi kucing-kucing ini mencari perlindungan dan sisa-sisa makanan dari kantin sekolah.

Paradoks Kasih Sayang yang Semu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2