Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.
Di tengah hiruk pikuk Bekasi yang kerap dicap individualistis, kami di gang kecil ini justru hidup dengan kebersamaan. Meski mayoritas pendatang dari latar berbeda, kami terbiasa saling menyapa dan menjaga rasa guyub.
Malam puncak HUT RI ke-80 hanya menjadi salah satu momen ketika semua itu terasa semakin kuat: kami duduk bersisian di atas terpal, berdo'a bersama, lalu merayakan kemerdekaan dalam suasana hangat.
Saya sendiri hadir bukan sebagai penonton, melainkan warga setempat yang ikut duduk, mengamini do'a, sambil mengabadikan momen. Gambar diambil, diedit, dan dinarasikan sendiri, tentu dengan persetujuan semua. Rasanya berbeda, karena bukan sekadar dokumentasi, ini merupakan potret dari kehidupan saya sehari-hari di lingkungan ini.
Yang membuat saya terharu, meski tinggal di perumahan kota besar dengan masyarakat heterogen, kami tidak kehilangan rasa "kampung". Anak-anak yang biasanya berlarian di gang, malam itu duduk rapi menyimak lantunan do'a.
Para ibu yang sibuk bekerja siang hari, malam itu tersenyum lepas sambil berbagi camilan. Para bapak, meski letih sepulang kerja, tetap hadir dengan wajah sumringah. Semua menyatu, tanpa sekat.
Di atas terpal sederhana, kami menemukan kemewahan yang jarang ada di kota besar: rasa saling memiliki. Tanpa panggung megah atau dekorasi berlebihan, hanya do'a khusyuk, nyanyian kebangsaan, dan obrolan hangat. Namun justru di situlah kemerdekaan terasa nyata.
Saya bangga bisa merekam momen ini. Bukan karena acara kami besar, tetapi karena ini jujur. Di sinilah saya melihat kemerdekaan yang sesungguhnya, ketika di ruang-ruang kecil orang-orang bisa duduk sejajar, saling mendo'akan, dan menjaga rasa kebersamaan.
Di sudut kota Bekasi ini, di gang kecil kami, kemerdekaan terasa begitu dekat. Selanjutnya saya yakin, nilai-nilai inilah yang membuat Indonesia tetap kokoh: kebersamaan yang sederhana, tapi tulus.