Fascal Deo Rukmana adalah mahasiswa pamulang yang lahir di Kota Tangerang, pada tanggal 21 Juli 2001, Nama lainnya biasa disebut Fascal atau Deo.
"Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" yang disutradarai oleh Edwin adalah film drama aksi yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Eka Kurniawan. Film ini berlatar Indonesia tahun 1980-an dan berpusat pada kisah Ajo Kawir, seorang jagoan kampung yang terkenal jago berantem dan tak takut mati. Julukannya pun unik: "burungnya tak bisa bangun", yang mengacu pada masalah impotensi yang dideritanya.
Masalah seksual Ajo Kawir ini ternyata bukan tanpa sebab. Ia menyimpan trauma mendalam di masa kecilnya. Ketika masih kecil, ia secara tidak sengaja menyaksikan sebuah peristiwa pemerkosaan yang mengerikan. Trauma ini menghantuinya dan membuat "kejantanannya" lumpuh, meskipun ia menampilkan diri sebagai sosok yang sangat maskulin di mata publik dengan sering terlibat dalam perkelahian brutal.
Film ini menyoroti bagaimana kekerasan menjadi siklus tak berujung dan cara bagi para karakter untuk mengatasi (atau justru memperparah) trauma mereka. "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" adalah sebuah perjalanan yang gelap, brutal, namun juga puitis dan penuh ironi, menyelami lebih dalam makna maskulinitas, trauma, dendam, dan harapan akan pembebasan. Film ini mengajak penonton untuk melihat bagaimana 'dendam' bisa mengambil berbagai bentuk, dan bagaimana 'rindu' terkadang harus dibayar dengan konsekuensi yang tak terduga.
Film ini tidak mengikuti struktur naratif linear konvensional (awal-tengah-akhir yang lurus). Sebaliknya, ia menggunakan struktur non-linear dan episodik, melompat-lompat antara masa lalu dan masa kini, serta menghadirkan berbagai fragmen kisah dari perspektif karakter yang berbeda.
Alur cerita utama tentang Ajo Kawir dan ketidakmampuannya berereksi (impotensi) akibat trauma masa lalu diinterupsi oleh kilas balik yang mendalam, terutama tentang kejadian pemerkosaan yang ia saksikan di masa kecil dan kisah cinta serta persahabatannya dengan Iteung dan Bima. Kilas balik ini bukan sekadar tambahan, melainkan esensial dalam membangun motivasi dan kompleksitas karakter. Mereka secara bertahap mengungkap lapisan-lapisan trauma yang membentuk Ajo Kawir dewasa.
Ada pengulangan adegan atau motif tertentu (misalnya, adegan pemerkosaan yang terus menghantui, adegan perkelahian yang brutal, atau simbol burung/ayam jantan yang tak bisa berkokok). Pengulangan ini menciptakan ritme dan kohesi dalam struktur yang non-linier, sekaligus memperkuat tema-tema sentral film.
Meskipun Ajo Kawir adalah tokoh sentral, film ini juga memberikan ruang bagi perspektif karakter lain seperti Iteung. Pergeseran fokus ini memperkaya narasi dan menunjukkan bagaimana trauma dan kekerasan memiliki dampak berjenjang pada semua yang terlibat.
Karakter-karakter dalam film ini seringkali tampil sebagai arketipe yang rusak atau terdistorsi, namun dengan kedalaman psikologis yang mengejutkan.
Ajo Kawir adalah arketipe jagoan, petarung jalanan yang tak terkalahkan, namun ironisnya memiliki "burung yang tak bisa bangun" (impotensi) akibat trauma. Kekuatan fisiknya berbanding terbalik dengan kerapuhan psikologisnya. Ini adalah kontradiksi sentral yang mendorong seluruh konflik batinnya. Kebrutalan yang ia tunjukkan adalah kompensasi atas rasa tidak berdaya dan malu.
Iteung seorang petarung wanita yang tangguh, Iteung adalah representasi kekuatan dan kemandirian, namun juga terperangkap dalam siklus kekerasan dan trauma. Hubungannya dengan Ajo Kawir adalah cerminan dari bagaimana orang-orang yang rusak berusaha saling menyembuhkan atau justru saling melukai.
Karakter seperti Tokek atau Bima juga berfungsi sebagai representasi dari berbagai aspek maskulinitas, kekerasan, atau kelemahan yang ada di lingkungan Ajo Kawir, memperkuat latar belakang sosial yang keras.
Film ini secara gamblang menyoroti bagaimana masyarakat membentuk "laki-laki sejati" melalui kekerasan dan dominasi. Impotensi Ajo Kawir adalah metafora sentral yang cerdas untuk menunjukkan kerapuhan maskulinitas yang dibangun di atas fondasi kekerasan dan penolakan emosi. Burung jantan yang tak bisa berkokok menjadi simbol yang kuat untuk kegagalan maskulinitas yang diharapkan.
Film ini menunjukkan bagaimana kekerasan, baik yang disaksikan maupun yang dialami, dapat melahirkan kekerasan lainnya. Kekerasan fisik menjadi satu-satunya cara bagi Ajo Kawir untuk mengekspresikan diri atau melarikan diri dari trauma, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.
Tema dendam secara eksplisit disebut dalam judul, namun film ini juga mengeksplorasi apakah dendam adalah satu-satunya jalan keluar, atau adakah kemungkinan untuk pengampunan dan penyembuhan. Ada sentuhan fatalisme dan pertanyaan tentang takdir dalam beberapa dialog dan situasi, memperkaya lapisan filosofis cerita.
Pengambilan gambar seringkali menunjukkan kekerasan secara gamblang dan jujur, namun pada saat yang sama ada elemen-elemen surealis dalam beberapa adegan (misalnya, imajinasi Ajo Kawir, adegan-adegan yang seperti mimpi). Kontras ini memperkuat nuansa psikologis dan absurditas yang ingin disampaikan.
Penggunaan suara yang intens saat adegan perkelahian atau keheningan yang mencekam pada momen-momen emosional, serta pilihan musik yang mengiringi adegan, semua berkontribusi pada pembangunan suasana dan memperkuat emosi yang dialami karakter.