Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com
Berbeda dengan Trans Jatim, penumpang akan ditegur langsung oleh kondektur Suroboyo Bus jika ketahuan makan atau minum. Saya pernah sekali melihat kondektur Suroboyo Bus menegur keras anak-anak SMA yang makan cilok di dalam bus. Kondektur tersebut meminta mereka membaca aturan yang sudah tertempel di kaca dalam bus. Sontak, mereka pun menghentikan kegiatan makan tersebut dan menyimpan makanan mereka.
Meski begitu, ada beberap orang yang menganggap bahwa makan dan minum di dalam bus BRT tak masalah asal tidak mengganggu penumpang lain. Alasannya, tak semua orang memiliki waktu untuk makan dan minum sebelum mereka naik bus. Mereka hanya punya waktu saat melakukan perjalanan di dalam bus. Maka dari itu, melarang penumpang makan atau minum di dalam bus merupakan tindakan yang kurang tepat.
Berbicara mengenai waktu makan yang tidak sempat digunakan sebelum naik bus tentu tergantung pada pribadi masing-masing. Saya sendiri sudah memiliki kebiasaan untuk mengestimasi kapan saya harus makan, minum, dan pergi ke kamar mandi sebelum naik bus semacam Trans Jatim ini. Biasanya, saya melakukan semuanya sebelum naik bus atau mengunyah permen dan meminum minuman penunda lapar terlebih dahulu jika tidak keburu.
Jujur, saya juga kerap kelaparan ketika melakukan perjalanan semacam ini. Kalau tidak, saya membeli makan dulu dan membungkusnya untuk saya makan saat baru turun dari bus. Biasanya, saya mencari kursi taman di sekitar halte untuk memakan makanan yang saya bawa setelah turun.
Sebenarnya, saya masih bisa menahan lapar untuk beberapa saat. Namun, saya paling tidak bisa menahan haus. Makanya, setelah turun dari bus, saya kerap melipir sebentar untuk minum air mineral yang saya bawa. Berdiri cukup lama di dalam bus dengan kondisi sesak cukup menguras energi dan cairan di dalam tubuh. Untuk itu, mengisi sebelum naik bus dan saat baru turun dari bus adalah kunci.
Saya menyadari bahwa untuk ukuran tubuh saya yang masih prima saja sering merasa lapar dan haus ketika naik bus. Bagaimana dengan mereka yang memiliki ketahanan fisik yang lebih rendah di bawah saya?
Meski begitu, bukan berarti alasan ini menjadikan penumpang boleh makan di dalam BRT. Kenyamanan perjalan adalah hal utama. Terlebih, saat ini masih ada kasus covid-19 dan ada aturan bahwa perjalanan kurang dari 2 jam dilarang makan dan minum serta wajib memakai masker.
Sebenarnya, bisa saja pihak BRT memberikan saran dan informasi untuk mengatasi rasa lapar dan haus selama perjalanan. Hingga sekarang, saya belum menemukan satu pun informasi terkait hal ini di berbagai BRT. Hanya Transjakarta yang biasanya mengunggah kuliner di sekitar Halte Transjakarta untuk bisa digunakan penumpang makan dan minum sebelum atau sesudah naik bus.
Pihak BRT sebenarnya juga bisa menggandeng pihak ketiga untuk menyediakan stan makanan dan minuman di sekitar halte yang masih memungkinkan. Jadi, penumpang bisa makan dan minum terlebih dahulu sebelum naik bus.
Jika langkah tersebut terlalu jauh, sebenarnya pihak pengelola BRT bisa memberi informasi mengenai posisi bus di setiap halte. Dengan begini, penumpang bisa mengestimasi ketika ingin makan atau minum. Informasi mengenai pengecekan posisi bus ini sayangnya kurang tersosialisasi dengan baik padahal bagi saya amat penting. Saya kerap terbantu bisa makan, minum, atau ke kamar mandi dahulu setelah mengetahui bahwa jarak bus dengan halte tempat saya menunggu masih cukup jauh.
Larangan makan dan minum di dalam transportasi umum terutama BRT ini memang menimbulkan pro dan kontra. Tidak hanya di Indonesia, di Inggris sendiri juga sempat mengalami penolakan karena dianggap merugikan penumpang terutama perumpang tertentu yang harus makan tepat waktu. Yang jelas, ketertiban penumpang tetap harus menjadi prioritas jika nanti ada pelonggaran mengenai makan dan minum ini.