Isson Khairul
Isson Khairul Jurnalis

Saya memulai hidup ini dengan menulis puisi dan cerita pendek, kemudian jadi wartawan, jadi pengelola media massa, jadi creative writer untuk biro iklan, jadi konsultan media massa, dan jadi pengelola data center untuk riset berbasis media massa. Saya akan terus bekerja dan berkarya dengan sesungguh hati, sampai helaan nafas terakhir. Karena menurut saya, dengan bekerja, harga diri saya terjaga, saya bisa berbagi dengan orang lain, dan semua itu membuat hidup ini jadi terasa lebih berarti.

Selanjutnya

Tutup

Video Pilihan

Marhaenisme Bung Karno Melawan Korupsi

21 Maret 2023   09:12 Diperbarui: 21 Maret 2023   09:29 1714 3 0

Marhaenisme, ajaran Bung Karno yang relevan kita cermati. Foto: Isson Khairul
Marhaenisme, ajaran Bung Karno yang relevan kita cermati. Foto: Isson Khairul

Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan

Bung Karno Tolak Individualisme


Begitu pesan penyair WS Rendra kepada kita. Begitulah Rendra menggambarkan ketimpangan di negeri ini. Ada yang berkelimpahan. Ada yang bergantung pada belas kasihan orang lain. Situasinya seperti digambarkan Percy Bysshe Shelley yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin dalam esai-nya A Defence of Poetry.

Kenapa mereka miskin? Karena mereka malas? Guru Besar FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Bagong Suyanto, angkat bicara. Menurutnya, miskin dan malas tidak berhubungan. Sebab, kemiskinan terjadi karena faktor-faktor yang sifatnya struktural daripada kultural.

Struktural? Artinya, penyelenggara negara terlibat secara langsung terhadap naik-turunnya angka kemiskinan. Sebaliknya, penyelenggara negara harus bertanggung jawab, ketika orang-orang pemerintahan  merampok uang rakyat, yang langsung atau tidak langsung turut memperlebar ketimpangan kaya-miskin tersebut.

Jurang kaya-miskin, kian menganga. Silakan baca tulisan saya Ketimpangan Si Kaya dan Si Miskin, dari Andrinof Chaniago hingga Faisal Basri di Kompasiana, pada 18 Agustus 2015. Hal itu semakin menunjukkan, betapa minimnya keadilan di negeri ini.

Padahal, sejak jauh-jauh hari, Bung Karno selaku Ketua Panitia Hukum Dasar BPUPKI, dengan tegas menolak dasar falsafah individualisme untuk rancangan Undang-udang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ada apa dengan individualisme? Karena, di bidang ekonomi, falsafah individualisme akan melahirkan ekonomi-liberal dengan semboyan laissez faire, laissez passer atau ekonomi pasar persaingan-bebas. Kini, secara ekonomi, bukan kah kita sesungguhnya berada di ranah persaingan-bebas, yang ditentang oleh Bung Karno?

Mari kita renungkan bersama. Ketimpangan kaya-miskin, selain karena sistem ekonomi persaingan-bebas tersebut, juga karena hukum dengan leluasa diperdagangkan. Itu sudah menjadi rahasia umum di negeri ini. Di sidang-sidang pengadilan, orang-orang kecil tersingkir karena uang.

"Jangan sampai terjadi hukum yang bisa diperjualbelikan, yang bisa diperdagangkan," pesan Presiden Joko Widodo saat memberikan pembekalan kepada 1.591 CPNS/Calon Hakim Tahun 2018 di Gedung Auditorium, badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung, Megamendung, Bogor, Jawa Barat, pada Rabu, 21 Februari 2018.   

Marhaenisme Menentang Ketidakadilan

Tegakkan hukum. Adili para perampok uang rakyat seadil-adilnya. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Itulah sila kelima dari Pancasila yang menjadi acuannya. Dalam realitasnya, alangkah sulit untuk mendapatkan keadilan di negeri ini. Ketidakadilan terjadi di banyak tempat, di berbagai lapisan masyarakat, dari waktu ke waktu.

Mereka yang berkuasa seringkali merampas keadilan publik, dengan kekuasaan. Merampas hak-hak publik, dengan kekuasaan. Juga, merampok uang rakyat dengan kekuasaan. Mereka seolah tak tersentuh oleh hukum, yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Sangat banyak contohnya. Sangat banyak korban dari ketidakadilan yang dimaksud.

Dengan kata lain, mereka yang berkuasa dengan sewenang-wenang menindas rakyat yang tidak memiliki kekuasaan. Ini mengingatkan kita pada ajaran Marhaenisme, yang dirumuskan Bung Karno, founding father negeri ini. Marhaenisme menjadi konsep untuk membebaskan kaum tertindas dari belenggu penjajahan.

Realitasnya, meski negeri ini sudah puluhan tahun merdeka, masih sangat banyak rakyat yang ditindas oleh bangsa sendiri yang memiliki kekuasaan. Terlepas dari belenggu penjajahan, bukan berarti rakyat terbebas dari penindasan. Penegakan hukum masih sangat jauh dari keadilan.

"Marhaenisme menentang penindasan, menentang ketidakadilan," ujar Ir. Ibnu Prakoso, Ketua Umum Korsa Marhaen Indonesia (Komando), pada Rabu, 15 Maret 2023 lalu. Artinya, untuk menegakkan hukum, menegakkan keadilan, agaknya ajaran Marhaenisme dari Bung Karno masih sangat relevan.

Ibnu Prakoso menambahkan, selama masih ada kemiskinan dan ketidakadilan karena struktural dari Sistem Pemerintahan, maka seorang Marhaenis akan berteriak keras-keras dan menentang semua itu. Marhaen bukan orang malas, marhaen bekerja dan berkarya menghidupi diri dan keluarganya dengan kemampuan, bakat, talenta, dan otak mereka. Dalam diri dan jiwa seorang marhaenis, ada kemandirian.

Sebagai pengamal ajaran Bung Karno tersebut, Ibnu Prakoso prihatin dengan merebaknya ketidakadilan serta kasus korupsi di segala bidang pemerintahan. Dengan tegas, ia mengungkapkan, "Demokrasi yang dibangun di negeri ini, menghasilkan pejabat yang korup. Karena untuk menduduki jabatan, mereka mengeluarkan uang banyak, maka setelah menjabat mereka mengeruk uang sebanyak-banyaknya."

Dengan kata lain, demokrasi yang dibangun kini, sudah jauh melenceng dari prinsip-prinsip kebangsaan yang diwariskan Bung Karno. Kesadaran berbangsa, semangat gotong-royong, serta adil kepada sesama, adalah nilai-nilai luhur yang melandasi para founding father negeri ini mendirikan Republik Indonesia. Realitasnya, melenceng dari semua itu.

Ibnu Prakoso mengingatkan, para generasi muda harus belajar dari para pendiri bangsa yang sudah mewariskan Republik ini untuk dikelola dengan baik, sehingga tidak ada lagi kemiskinan dan ketidakadilan. Dalam konteks itu, nilai-nilai luhur para founding father negeri ini, haruslah mendapat tempat yang penting untuk diajarkan di seluruh jenjang pendidikan.

Dengan demikian, rasa kebangsaan serta kesadaran berbangsa, sudah tertanam dalam diri anak-anak bangsa sejak awal. Itu merupakan fondasi yang baik, yang menjadi bekal mereka, ketika kelak menjadi pemimpin di berbagai skala kehidupan. Hal itu sekaligus menjadi benteng, agar tak mudah terpengaruh oleh paham-paham yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur para founding father negeri ini.

Jakarta, 21 Maret 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2