Isson Khairul
Isson Khairul Jurnalis

Saya memulai hidup ini dengan menulis puisi dan cerita pendek, kemudian jadi wartawan, jadi pengelola media massa, jadi creative writer untuk biro iklan, jadi konsultan media massa, dan jadi pengelola data center untuk riset berbasis media massa. Saya akan terus bekerja dan berkarya dengan sesungguh hati, sampai helaan nafas terakhir. Karena menurut saya, dengan bekerja, harga diri saya terjaga, saya bisa berbagi dengan orang lain, dan semua itu membuat hidup ini jadi terasa lebih berarti.

Selanjutnya

Tutup

Video Pilihan

Rahayu Saraswati Olah Mental Health Menjadi Puisi

6 Januari 2025   14:49 Diperbarui: 6 Januari 2025   14:49 195 1 0


Rahayu Saraswati mencontohkan kepada kita, bagaimana mengolah mental health menjadi puisi. Ia menumbuhkan narasi yang bernas, dengan tingkat kepedulian yang tinggi. Krisis kesehatan mental telah menghantui Generasi Z Indonesia. Menyentuh sekaligus menggugah, dalam balutan kasih sayang seorang Ibu.

Warisan Luka, Balutan Cinta

Kala kupandang wajahmu
Tergores kisah yang tak tertulis
Cerita yang kau sembunyikan di sela senyummu

Rahayu Saraswati mengolah mental health menjadi puisi. Foto: Isson Khairul
Rahayu Saraswati mengolah mental health menjadi puisi. Foto: Isson Khairul

Begitu Rahayu Saraswati  memotret sosok yang tersenyum di hadapannya. Ia sama sekali tidak terpukau oleh senyuman tersebut. Ia justru masuk sekaligus menyelinap ke balik senyuman dan menemukan ada perih yang mengendap. Ada luka yang tak nampak, tapi menggetarkan mata batin.

Sosok yang menyimpan luka di sela senyuman tersebut, kerap ditemui Rahayu Saraswati. Bukan hanya di kota-kota besar, tapi juga di kawasan pedesaan. Bukan hanya di pasar tradisional, tapi juga di berbagai pusat perbelanjaan yang gemerlap. Bukan hanya dari mereka yang sudah dewasa, tapi juga dari orang-orang muda.

"Cukup banyak saudara-saudara kita, yang mengalami gangguan kesehatan mental. Antara lain, karena trauma, akibat tekanan sosial ekonomi yang berkepanjangan. Secara kasat mata, mereka nampak normal, tapi sesungguhnya mereka menyimpan luka jiwa, menyembunyikan perih di sela senyuman," tutur Rahayu Saraswati.

Rahayu Saraswati yang saya maksud di sini, adalah Rahayu Saraswati Dhirakanya Djojohadikusumo. Ia akrab saya sapa Sara dan merupakan keponakan Presiden Prabowo Subianto. Ia seorang aktivis, politikus, aktris, presenter, dan pegiat sastra. Ia jeli mencermati sekaligus memaknai realitas sosial ekonomi, kemudian -antara lain- "memotret"-nya menjadi untaian puisi:

Luka itu kau bawa sendirian
Melawan badai tanpa perisai
Bayangan di hatimu yang tak pernah memudar
Potret lama yang justru kau bingkai

Di bait yang ini, Rahayu Saraswati menegaskan kepada kita, betapa sangat tidak mudah untuk lepas dari trauma, dari luka jiwa. Sebagian besar dari mereka yang mengalami gangguan kesehatan mental, memang memilih memendam segala perih. Membingkai-nya rapat-rapat.

Hanya sebagian kecil yang men-share luka jiwa tersebut. Antara lain, kepada inner circle mereka, juga kepada psikolog. Karena itu, Rahayu Saraswati berpesan, "Sudah seharusnya kita meluangkan waktu untuk mendengarkan curhat orang-orang sekitar kita. Dengan begitu, kita sudah turut meringankan beban psikis mereka, yang mungkin tengah mengalami gangguan kesehatan mental."

Pesan tersebut diungkapkan Rahayu Saraswati kepada lebih dari 200 orang yang menghadiri launching buku antologi puisi Membaca Ibu: Ibu, Aku Anakmu. Puisi yang ditulis Rahayu Saraswati itu, ia beri judul Warisan Luka, Balutan Cinta dan dimuat dalam buku antologi tersebut. Di momen launching itu, ia membacakan puisi karyanya dengan penuh penghayatan.    

Buku antologi puisi tersebut diterbitkan oleh Komunitas Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI), berkolaborasi dengan 96 penyair dari berbagai wilayah tanah air. Launching-nya digelar pada Selasa, 24 Desember 2024 lalu di aula Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.

Refleksi Diri dan Realitas

Menyimak Warisan Luka, Balutan Cinta, terasa sekali, betapa Rahayu Saraswati berhasil merekam realitas yang bertaburan dalam kesehariannya. Ia bukan hanya mencermati angka dan data tentang kesehatan mental, tapi sekaligus menghayati realitas tersebut, hingga membangkitkan kepedulian kepada sesama.

Melalui puisi, ia menggugah kepedulian kita. Rahayu Saraswati menilai, "Mental Health atau kesehatan mental, sesungguhnya sudah menjadi masalah yang serius di Indonesia." Pada Senin, 10 Juli 2023 | 05:10 WIB, media Kompas.id melansir Krisis Kesehatan Mental Menghantui Generasi Z Indonesia.

"Krisis kesehatan mental dialami kaum muda di sejumlah daerah di Tanah Air. Namun, akses mereka terhadap layanan kesehatan jiwa masih amat terbatas," begitu tulis media Kompas.id. Bahkan, pada Rabu, 18 Desember 2024 | 05:00:24 WIB, media yang sama kembali melansir Kesehatan Mental Gen Z di Zaman yang Sulit.

Untuk mendapatkan gambaran, kita bisa mulai menyusuri data di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), yang mencatat bahwa jumlah penduduk Indonesia per 31 Desember 2022 mencapai 277,75 juta jiwa. Dengan rincian, 24,5 juta jiwa berusia 10-14 tahun dan 21,7 juta jiwa berusia 15-19 tahun.

Sejumlah penelitian menemukan, dari remaja berusia 10-19 tahun tersebut, sebanyak 2,54 juta di antaranya masuk kategori orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Dan, 16,1 juta remaja tersebut, tergolong orang dengan masalah kejiwaan (ODMK).

Nah, serentetan data tersebut, sesungguhnya merupakan alarm, agar kita lebih peduli kepada sesama. Saling berkolaborasi, saling support. Antara lain, seperti pesan Rahayu Saraswati: sudah seharusnya kita meluangkan waktu untuk mendengarkan curhat orang-orang sekitar kita.

Salah satu upaya untuk meminimalkan gangguan kesehatan mental adalah membangun kebiasaan berpikir positif. Dengan berkolaborasi, bekerjasama dalam suatu aktivitas komunitas misalnya, kita memiliki kesempatan untuk melatih diri berpikir positif. Menghargai gagasan orang lain, sekaligus belajar merumuskan gagasan sendiri untuk kepentingan orang banyak.

Artinya, berlatih mengelola ego, menimbang kepentingan sesama, seperti petikan puisi Rahayu Saraswati ini:

Ada kalanya aku bertanya dalam hati,
apakah aku menjadi penawar
atau justru duri yang memperparah perihmu?

Jakarta, 6 Januari 2025

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2