Saya memulai hidup ini dengan menulis puisi dan cerita pendek, kemudian jadi wartawan, jadi pengelola media massa, jadi creative writer untuk biro iklan, jadi konsultan media massa, dan jadi pengelola data center untuk riset berbasis media massa. Saya akan terus bekerja dan berkarya dengan sesungguh hati, sampai helaan nafas terakhir. Karena menurut saya, dengan bekerja, harga diri saya terjaga, saya bisa berbagi dengan orang lain, dan semua itu membuat hidup ini jadi terasa lebih berarti.
Selamat ulang tahun, Bang Sutardji Calzoum Bachri. Jejak hidupmu demikian panjang, sangat panjang. Membentang di seluruh penjuru negeri, menjelma dari generasi ke generasi.
Tak mungkin rasanya kusebut satu per satu kota yang pernah engkau singgahi. Tapi, kutahu, di tiap kota itu, selalu ada jejak nafasmu, yang mengendap menjadi bait-bait puisi.
Bahkan, di tempat yang belum pernah engkau sambangi pun, jejak nafasmu telah sampai ke sana. Diresapi orang-orang di sana, di bentangan wilayah. Mereka seolah air mata dalam sajakmu, yang senantiasa mengepung sekaligus membendung.
Sebagian dari mereka, bernafas dengan nafasmu. Mengeja makna, sebagaimana engkau mengeja. Menukik dari bait ke bait, di tiap kedalaman baitmu. Memang, mereka belum jua sampai ke kedalaman yang telah engkau capai.
Tentu sangat tidak mudah menggapai semua yang telah engkau capai. Karena, pertarungan hidupmu, ombak dan badai di eramu, mungkin bak kaki langit. Seolah nampak di pelupuk mata, namun tak kan terjangkau hingga akhir usia.
Suatu hari, kita pernah berbincang tentang cahaya. Engkau mengeluarkan senter dari tas ranselmu, menerangi halaman buku di genggamanmu. Namun, kedua bola matamu, tak kunjung kuasa menangkap deretan huruf-huruf di halaman buku tersebut.
Sebaliknya, deretan huruf di layar gawaimu, langsung ditangkap oleh matamu, hingga engkau leluasa membacanya. Cahaya, ya karena ada cahaya. Sementara, dari halaman buku, tak ada cahaya yang timbul. Huruf-huruf melekat di kertas. Tak tertangkap oleh matamu.
Barangkali, itulah misteri cahaya, sekaligus misteri usia. Dengan lensa kamera yang bertumpu pada cahaya, aku berupaya membekukan tiap gerakmu, tiap ekspresimu, di satu kesempatan. Sungguh, lensa kamera kalah cepat oleh rentetan ekspresimu, oleh olah tubuhmu.
Sekali lagi, barangkali, itulah misteri cahaya, sekaligus misteri usia. Kemudian kubaca ulang sajakmu "Malam" di Horison, pada April, 1970. Aku menangkap, cahaya sesungguhnya bukan pilihan. Justru, kegelapan, kepekatan, yang akan mengantarkan kita ke keabadian.