Di meja sunyi aku menunduk, menatap kertas yang pucat
Dengan tangan bergetar kutulis nama yang dulu pernah hangat
Tapi setiap huruf yang jatuh seperti pisau tak terlihat
Membuka luka yang kukira sudah mati sejak lama
Tinta merah mengalir pelan, bukan darah---
Hanya rindu yang membusuk jadi marah
Setiap goresan sajak tak menyembuhkan apa-apa
Hanya membuat malam semakin berat menutup dada
Dan aku masih di sini,
Mencari diriku yang hilang di antara kalimat sendiri
Namun setiap kata memukul dari dalam,
Menjadikanku penjara bagi dendam yang tak padam
Ini surat bertinta darah,
Bukan dari luka tubuh---tapi dari hati yang parah
Dendam yang tak pernah terpuaskan
Seperti api yang memakan semua kenangan
Saat kutulis sajak tentang luka,
Rasanya luka makin dalam tak bertepi
Huruf-huruf itu tajam seperti bisikannya sendiri,
Membunuh perlahan dalam sunyi
Kusobek halaman yang salah, namun tak ada yang benar
Sebab setiap cerita kembali ke malam yang samar
Aku menulis, tapi hakikatnya aku tenggelam
Dalam gelap yang memelukku erat tanpa belas kasihan
Jika dendam adalah bayang-bayangku
Maka aku adalah tubuh tanpa cahaya
Terjerat dalam tintanya
Terhisap dalam maknanya
Dan setiap bait yang kurangkai
Adalah jejak air mata yang tak sempat kering
Ini surat bertinta darah,
Teriakan tanpa suara dari hati yang retak
Dendam yang tak pernah terpuaskan
Mengalir seperti sungai yang kehilangan arah
Saat kutulis sajak tentang luka,
Lukanya tak hilang---malah tumbuh menjadi hutan
Dan aku tersesat dalam kata-kata yang kubuat sendiri
Sampai tak tahu siapa yang membunuh siapa lagi---
Aku atau puisiku
Biarlah surat ini menjadi saksi
Tentang hati yang mencoba hidup tapi patah setiap kali
Aku menulis bukan untuk membalas
Hanya untuk mengeluarkan gelap
Sebelum gelap itu menelan aku habis.