Social energy adalah energi yang dihabiskan untuk melakukan interaksi dengan lingkungan sosial atau bersosialisasi.
Lebaran tak hanya tentang ketupat dan opor, tetapi juga tentang ritual nyekar dan silaturahmi keluarga besar.
Dua tradisi ini sama-sama penting, namun sering kali menguras waktu dan tenaga. Bagaimana cara menyeimbangkan keduanya?
Rasa bahagia bertemu dan berkumpul saudara tentunya bisa menjadi booster untuk mengeliminasi rasa lelah karena nikmat silaturahmi dan merasa dicintai dan mencintai semua saudara yang sejak kecil selalu bersama dalam suka dan duka, sehingga ada keterikatan yang tak terlihat, tapi nyata dan bisa dirasakan.
Kebetulan kedua orang tua kami semua sudah berpulang ke Rahmatullah, jadi kami hanya bisa bersama-sama berkunjung ke makam untuk mengenang dan mendoakan orang tua termasuk kakek nenek dan saudara-saudara orang tua.
Beruntung sekali kami mempunyai orang tua yang demokratis dan menanamkan sayang menyayangi dengan saudara, bahkan memberi contoh dan teladan saat mereka masih hidup, bagaimana rukun dan saling menyayangi antar saudara.
Kini, bagi kami bertemu dan berkumpul bersama saudara dan mengisi lebaran bersama adalah saat yang menyenangkan dan membahagiakan, sehingga mudik adalah kebutuhan dan hal yang kita nantikan. Bukan karena paksaan keharusan agar terlihat kompak.
Meski begitu, kami menghargai kepentingan masing-masing. Jadi saat kami belum ada yang mudik,kakak tertua yang ke makam terlebih dulu untuk membersihkan, nyekar dan mendoakan orang tua yang berpulang.
Saat berkumpul, kami nyekar bareng. Kakak ikut nyekar lagi ayuk, tapi kalau repot nggak ikut nggak apa-apa, karena kebetulan makamnya dekat dengan rumah. Bisa jalan kaki tanpa merasa capek.
Kalau nyekar ke tempat Kakek dan nenek dari pihak ibu tempatnya agak jauh, sehingga kami mencari hari yang kami bisa dan semua longgar. Saat hari ditentukan, kakak tertua ada reuni dan silaturahmi, jadi kami pilih waktu sore harinya. Sehingga semua bisa pergi bersama. Malah kebetulan, cuaca sudah tidak terlalu panas.
Kemudian lanjut ke tempat Mbah, di sana ada sepupu tertua kami dari pihak ibu. Begitulah yang selalu kami lakukan sejak Ibu masih ada. Nyekar dahulu karena kebetulan makamnya terletak di jalan menuju rumah Mbah.
Acara silaturahmi pun kami pilih malam hari, meski sempat tertunda karena hujan, akhirnya tetap terlaksana meski ada beberapa tetangga yang terlewat karena masih penuh tamu, atau ada yang sudah tutup pintu karena memang sudah malam.
Di rumah peninggalan orang tua, kami sudah punya kamar sendiri-sendiri, jadi kalau datang tinggal menempati kamar masing-masing, tidak perlu berebut.