
Filosofi teh Jawa bukan cuma soal aroma dan rasa. Di balik segelas teh hangat yang biasa disajikan di rumah-rumah orang Jawa, tersimpan nilai-nilai hidup, sopan santun, hingga keikhlasan dalam menyambut tamu(estehthejava.com)
Tapi ada sesuatu yang unik tentang tamu dan teh tubruk yang saya alami. Saat saya dan suami datang untuk negosiasi pembangunan gazebo, kami disuguhi teh tubruk. Ternyata tuan rumah berharap bisa menubruk(menangkap) pelanggan dan terjadi kesepakatan. Unik juga ya, hehehe...
Orang Jawa biasanya paham, apa itu teh tubruk, yaitu teh yang dinikmati bersama ampasnya dalam gelas atau cangkir tanpa disaring. Teh tubruk ini aromanya lebih kuat dan rasa pahit sepatnya lebih mendominasi.
Mungkin jarang orang yang suka menikmati teh tubruk, karena ampas tehnya kadang ikut terminum masuk ke mulut.
Tapi menikmati teh tubruk mempunyai rasa dan aroma tersendiri yang tak terganti. Rasa dan aromanya lebih kuat dan pekat, khususnya untuk para penikmat teh.
Teh tubruk, dengan ampas teh yang mengendap di dasar cangkir, mungkin terlihat sebagai cara penyajian teh yang paling sederhana dan bersahaja kalau tidak boleh dikatakan primitif.
Namun, di dalam Budaya Jawa, khususnya di daerah-daerah seperti Solo, Yogyakarta, dan Tegal sekalipun, secangkir teh tubruk jauh melampaui fungsinya sebagai pelepas dahaga.

Ia adalah simbol, tradisi, dan wadah kearifan lokal yang sarat makna filosofis.
Esensi Rasa dan Kehidupan
Filosofi mendasar yang sering dikaitkan dengan teh Jawa, termasuk teh tubruk, adalah konsep Wanasgitel, sebuah akronim dari bahasa Jawa: