KS Story
KS Story Petani

Kisah PNS Asyik Bertani Di Sebuah Kebun Mini Miliknya, KS Garden Kuansing Namanya. (Kebun Buah Yang Disinari Matahari, Sayuran Yang Berwarna Cerah, Mimpi Yang Dipanen, Keranjang Berlimpah, Usaha Yang Membuahkan Hasil, Akar Yang Bersemangat, Panen Manis, Dari Ladang Ke Meja Makan😅)

Selanjutnya

Tutup

Video

Pejuang Mimpi Episode 64 Anak Yang Merakit Perahu Sendiri Jelas Beda Prosesnya Dengan Anak Yang Sudah Disiapkan Kapal Pesiar

25 Februari 2025   16:45 Diperbarui: 25 Februari 2025   19:06 135 0 0

Stone Crusher Dalam Kenangan 
Stone Crusher Dalam Kenangan 





Pejuang Mimpi Episode 64
Anak Yang Merakit Perahu Sendiri Jelas Beda Prosesnya Dengan Anak Yang Sudah Disiapkan Kapal Pesiar

Ada anekdot yang mengatakan, "Generasi pertama membangun, generasi kedua menikmati, dan generasi ketiga menghancurkan". Artinya apa? Tantangan terbesar dalam setiap usaha yang dibangun oleh generasi pertama adalah mempertahankan usahanya agar tetap hidup sepanjang masa.

Menurut Davis & Taqiuri, bisnis keluarga dapat didefinisikan sebagai bisnis yang dua generasi atau lebih anggota keluarga mempengaruhi arah bisnisnya. Sedangkan menurut Holan & Oliver, bisnis keluarga merupakan bisnis yang keputusan terkait kepemilikan dan manajemen dipengaruhi oleh anggota keluarga. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa peran keluarga dari generasi ke generasi berperan penting menentukan arah bisnis maupun manajemen didalam usaha tersebut. Sehingga, jika dianalogikan bisnis keluarga adalah sebuah rantai, __maka jika satu rantai putus tidak dapat tersambung lagi. Apabila penerusnya tidak memiliki kemampuan untuk meneruskan usahanya itu, maka usaha itu akan hancur karena kehilangan penerusnya.

Dan ini jelas, ada semacam momok yang menghantui hampir setiap pemilik usaha di generasi pertama. Ada banyak pertanyaan yang berputar di kepala founding fathers alias para orang tua. "Apakah generasi yang akan memimpin usahanya nanti memiliki kompetensi? Apakah generasi keduanya punya sikap dan perilaku yang mencerminkan dia? Apakah nanti anak-anaknya punya passion? Apakah passion mereka terletak di bisnis yang digeluti keluarganya atau tidak?". Ha, kek-kek gitu. Ya kan?

Katanya, keberhasilan usaha yang diberikan oleh generasi pertama ke generasi kedua adalah 30%, dari generasi kedua ke generasi ketiga hanya 15%. Bahkan, generasi ketiga ke generasi keempat, cuma 5%. Nampaknya ya, tantangan yang dihadapi generasi kedua lah yang cukup besar. Apalagi, jenjang usia antara generasi pertama dan kedua cukup jauh. Dan banyak, usaha keluarga yang akhirnya hancur setelah tongkat estafet diberikan ke generasi berikutnya. Namun banyak pula pemimpin generasi kedua yang berhasil membawa perusahaan keluarganya menjadi lebih baik.

Tidak usah jauh-jauh mencari inspirasi mendirikan kerajaan bisnis keluarga. Di Indonesia, ada banyak perusahaan besar yang berawal dari usaha keluarga rumahan, bahkan dengan pabrik produksi ala kadarnya. Meski begitu, seiring berjalannya waktu, kini menjelma menjadi perusahaan besar dengan sistem saham terbuka. Sukses, besar, dan berumur panjang. Bagaimana menjalankan bisnis bersama dengan keluarga? Itulah yang harus kita pelajari tipsnya.

Perusahaan rokok terbesar di Indonesia dulunya dirintis oleh Liem Seeng Tee, seorang Tiongkok miskin yang dibawa ayahnya merantau ke Indonesia. Di masa mudanya, ia menjadi buruh restoran di Surabaya sebelum mendapatkan kesempatan bekerja di pabrik rokok Lamongan. Dari situ, Liem memutuskan untuk mendirikan usaha sendiri bersama keluarga. Perjalanan bisnis itu tentunya tidak berjalan mulus..., tetapi terus tumbuh dan berkembang. Di satu titik, bahkan pernah ditimpa musibah kebakaran. Di titik berikutnya, bisnis rokok ini resmi menjadi badan usaha. Hampir lima dekade mendahului kemerdekaan Indonesia. Saat ini, Sampoerna masih dipegang oleh keluarga Liem dari generasi ketiga. Hebat ya, keluarga Liem.

Dan, banyak lagi yang hebat selain Liem. Salim juga hebat. Ada PT. Indofood Sukses Makmur yang hadir pada tahun 1990. Didirikan oleh Soedono Salim selaku pemilik Salim Group. Berkat perusahaan satu ini, rakyat Indonesia bisa mencicipi kelezatan mi instan Indomie, Sarimi, dan Supermi. Yang menjadi pertanyaan saya? Apakah orang pribumi tidak bisa membuat mie? Hehehe. Sebenernya bisa. Buktinya banyak kuq, ibu-ibu rumah tangga yang bisa buat e mie skala rumahan. Ada yang terbuat dari wortel..., bayam..., sawi, dan sagu. Cuma ya itu tadi, bisa jadi kurang di branding. Ga dikemas..., dan kurang gencar pemasarannya.
Bisa juga kurang tekun..., kurang fokus, kurang modal dan faktor lainnya. Atau merasa bukan rezekinya disitu. Ga hoki. Sehingga ga berkembang digenerasi pertama. Stagnan. Jangankan sampai ke generasi kedua, di generasi pertama aja usaha sudah semacam hidup segan mati tak mau. Akhirnya, __menyerah. Ini masalah kita. Sedangkan masalah orang, sudah sampai ke masalah generasi penerus pada bisnis keluarganya.

Menurut data statistik, 90% bisnis keluarga hancur di tangan generasi kedua atau ketiga. Pertanyaannya, bagaimana bisa sebuah perusahaan yang dirintis seumur hidup hancur ditangan penerusnya sendiri. Lalu apa sebenarnya yang terjadi sehingga masalah ini menjadi momok yang menakutkan bagi sebuah bisnis keluarga?

Pengalaman Pribadi;
KS remaja banyak belajar ketika sedang survei usaha calon nasabah. Ketika itu, saya bekerja sebagai AO di sebuah lembaga perbankan. Berbincang-bincang hangat dengan sejumlah pengusaha disebuah kota di Indonesia. Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah. Itu ungkapan dari Ki Hajar Dewantara. Tanpa belajar kita bukanlah orang yang istimewa. Akhirnya saya tahu, mengapa generasi kedua dan ketiga menjadi penyebab hancurnya bisnis keluarga. Ternyata begini.

Faktor yang dapat menyebabkan kegagalan pada suksesi bisnis keluarga pada generasi kedua atau ketiga yaitu: tidak memiliki persiapan dan perencanaan. Generasi pertama perusahaan keluarga tidak memiliki awarness of good business practices. Sehingga, pemilik bisnis tidak mempersiapkan bagaimana generasi selanjutnya dapat meneruskan usahanya. Tidak memiliki pengetahuan tentang manajemen usaha yang melihat kedepan. Pemilik hanya nyaman dengan usaha yang dibangunnya sehingga dia lupa kalau dia akan menjadi tua. Perencanaan untuk generasi selanjutnya, akhirnya dipikirkan ketika kondisinya sudah renta. Hal ini yang menyebabkan generasi kedua atau ketiga kaget karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk memimpin usaha. Padahal, rencana suksesi merupakan salah satu strategi jangka panjang terpenting yang harus generasi pertama buat. Sebagai peta jalan untuk masa depan, dan itu berarti ia tidak akan dibiarkan dalam kesulitan secara finansial atau operasional, jika hal yang tidak terduga terjadi.

Tapi kan, umumnya generasi pertama usaha keluarga menyekolahkan anaknya di sekolah yang bagus bahkan di luar negri. Padahal, pendidikan saja tidak cukup untuk memimpin sebuah usaha. Hal yang paling fundamental yang seharusnya dipersiapkan adalah pengalaman generasi selanjutnya di lapangan. Pemilik usaha cenderung memberikan tanggung jawab pada posisi puncak usaha secara langsung padahal penerus selanjutnya tidak memiliki pengalaman memimpin usaha sama sekali. Sehingga hal tersebut menyebabkan perusahaan jatuh kedalam jurang kehancuran. Ini fakta di lapangan. Pendidikan tinggi, namun pengalaman lapangan rendah.

Dan yang paling sering terjadi. Prestasi dan pencapaian generasi pertama menjadi penjara kreativitas dan inovasi generasi kedua dan ketiga. Resistensi dari generasi pertama begitu besar dan enggan melepaskan diri dari posisi pengambilan keputusan sehingga menyebabkan generasi kedua atau ketiga sulit menentukan keputusan-keputusan yang strategis. Lalu bayang-bayang pencapaian masalalu dari generasi pertama selalu menjadi tolak ukur pengambilan keputusan sekalipun keputusan yang diambil oleh generasi kedua dan ketiga lebih baik.

Betapa pentingnya perencanaan suksesi yang melibatkan pengembangan orang-orang yang dibutuhkan untuk menjalankan visi usaha dalam jangka panjang. Betapa pentingnya perencanaan yang jauh ke depan, yang memungkinkan pemilik usaha untuk memilih dan melatih beberapa pengganti yang sesuai dan bekerja dengan mereka dari waktu ke waktu sehingga kandidat utama akan siap ketika saatnya tiba.

Ada pelajaran yang saya dapat dari setiap pertemuan dengan orang-orang baru di dunia usaha ketika saya sudah bekerja ke perusahaan-perusahaan besar. Pelajaran yang berbeda di saat saya masih bekerja di usaha keluarga. Saya membandingkan antara pengalaman dari kedua tempat itu, usaha kecil keluarga dengan usaha besar milik orang lain. Pelajaran apa ituuuu? Estafet kepemimpinan.

Estafet kepemimpinan adalah tugas strategis yang harus disukseskan. Sebelum generasi pertama memberikan kepemimpinannya ke generasi berikutnya, setidaknya ada tiga hal yang harus dilihat, yaitu Competency, Passion, dan Attitude (CPA). Itu pelajaran hidup yang telah menjadikan saya kritis dalam hidup. Saya menjadikan kisah orang lain sebagai pelajaran.

Kilas balik KS remaja. Saya generasi ketiga yang mengawali karier di Sepupu Satria Group sebagai business family milik kakek Moran. Karena berbasis keluarga, jadi ada aturan yang beda antara satu pemilik generasi kedua dengan yang lain. Dalam hal ini, tentu pasangan dan saudara-saudaranya. Saya sebagai karyawan yang terhitung juga cucu pemilik, saya ikuti aja apa maunya mereka, karena saya baru pertama kali bekerja. Saya tidak memikirkan suka atau tidak sama aturan, toh bayaran tetep sama, yang dikerjakan juga sama. Tapi saya pernah ditegur sama salah satu pemilik, saya jawab aja disuruh sama Mbak F heh, karena emang Mbak F yang nyuruh. Malah dapat tontonan drama pada berantem. Terlalu banyak matahari, sehingga banyak yang mengatur. Pusing saya. Seharusnya kan, matahari tu tetap satu. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak bekerja di usaha keluarga. Lalu bekerja ke bank.

Dari dua pengalaman tempat bekerja itulah saya belajar bahwa..., sikap yang mesti dihindari dari generasi penerus itu adalah jangan pernah merasa "saya pemilik, saya lebih pandai, dan saya pernah belajar di luar kota, saya lebih hebat, tapi tunjukkan saja besok, benar ga dia yang hebat, dia yang lebih segalanya atau kita yang sebenarnya jago".

Saya juga belajar bahwa generasi kedua bukan dilihat sebagai status anak pemilik, tapi memang ia harus mampu membawa perusahaan keluarganya lebih sukses dan berkembang, dari kompetensi dan sikapnya. Di sisi lain, KS, hanya anak ketiga dari anak pertamanya Nenek Ca, istri kakek Maran.  Saya tidak ingin memikirkan lagi bagaimana usaha itu berkembang. Tak berpikir lagi bagaimana agar saya sebagai anak mengerti jalan berpikir orang tua saya. Saya sudah terjun ke usaha keluarga sejak kecil. Ketika saya kecil, saya adalah seorang anak yang "ditodong" untuk punya jiwa dagang. Sehingga karakter enterpreneurial saya sudah terbentuk dengan sendirinya, baik disadari atau tidak. Sebagai anak paling besar setelah ditinggalkan Abang dan Kakak yang ber sekolah diluar kota, tentu saya yang dari kecil dituntut orang tua untuk menjadi koordinator dari adik saya. Saya dari dulu harus 'nyemplung' ke usaha keluarga dari hulu ke hilir. Tapi karena keadaan setelah saya lulus kuliah, saya harus keluar dari lingkaran itu. Karena saya ingin mencetuskan kesuksesan saya sendiri.

Dan uhgh, benar menjadi dewasa ternyata engga mudah. Saya memutuskan pulang ke daerah asal dan sempat bekerja ke bank lain sebentar. Hingga saya bertemu lagi dengan kisah hidup orang baru. Bagi saya, hidup adalah belajar. Mau tidak mau, saya selalu belajar dengan baik dengan kerelaan hati maupun paksaan dari lingkungan. Dan saya yakin, proses inilah yang akan membuat saya menuju pada satu tujuan. Yaitu, __membuat diri saya menjadi lebih baik.

Saya bertemu dengan seorang pedagang harian di pasar. Ia adalah calon nasabah saya. Saat itu usianya 35 tahun, sarjana. Ini menarik perhatian saya. Saya tak segan-segan bertanya padanya karena kesempatan itu emang selalu ada. Selain pertanyaan yang menyangkut omset usahanya yang sekarang, saya juga mengupas tuntas bagaimana ia tidak mencari pekerjaan karena ingin mengembangkan usaha keluarganya. Dititik ini, saya sadar. Kenapa saya ego ya, kenapa saya lebih mementingkan status sosial ya hanya karena saya sarjana. Dia juga sarjana, tapi dia punya tujuan mulia dan memutuskan untuk tetap berjuang bersama usaha keluarganya. Ia bertungkus lumus ingin mengembangkan usaha keluarga nya dari konsep yang tradisi menuju konsep modern. Naluri saya ketika itu, ia saya perkirakan sedikit lagi akan berkembang usahanya bila saya memutuskan untuk menambah modalnya. Karakternya pekerja keras, ia fokus, ia ulet. Pemikirannya bersahaja. Oke saya merekomendasikan usahanya agar ia ditambah modalnya. Dan sepertinya ia layak untuk berkembang. Begitu juga atasan saya juga ok, setuju. Maka secara otomatis, saya tentu akan melihat terus perkembangannya ke depan.

Benar. Selama dalam pengawasan saya, setiap bulan, ia akhirnya menghasilkan ratusan juta per bulan. Hal ini terjadi karena ia sangat cerdas serta terampil dan punya keramahan yang luar biasa terhadap pembeli, sehingga bisa memiliki swalayan di negeri ini dimana pada umumnya penghasilan sarjana seperti dia itu ngga ada yang sampai segitu, hehehe terutama saya yang kerja di Lembaga Perbankan. Nah, sebagai pemegang account-nya, saya mengurusi keperluannya termasuk dalam hal keuangan. Ternyata, meski penghasilannya segitu dia tidak pernah tampak mewah, ia tampil sangat sederhana. Mobilnya hanya 2, Hilux dan Vios, dimana salah satunya dipakai istrinya. Rumahnya memang 2 tingkat tapi ngga besar-besar amat. Setiap tahun ia membeli 2--3 ruko baru dan juga beberapa Kg emas, ia juga sedang membangun banyak rumah kontrakan. Lalu ia juga mengeluarkan sekitar 50 juta perbulan untuk diberikan kepada saudara-saudaranya setiap bulan dan juga kepada lembaga rumah dhuafa. Saya pernah tanya kenapa ia ngga buka usaha baru yang lain, trus ia jawab karena ia udah lelah mengurusi pelanggan dan ragam karyawan sehingga dia ngga mau lagi buat-buat usaha yang menguras pikiran. Mendingan buat usaha pasif aja jadi tenang, seperti berkebun. Saya pernah tanya juga kenapa dia ngga beli barang-barang mahal. Dia menjawab, sebanyak apapun penghasilan kita tapi kalau kita mengikuti kehidupan mewah maka pasti akan habis juga.

Hhmm. Saya meleleh saat menyetir mobil menuju pulang. Satu pelajaran yang saya dapat, dan itu bekal buat saya kelak bila saya jadi pengusaha ha-ha ha. Suatu waktu, saya menikah dengan pacar yang juga bekerja di Bank. Sampai saya memutuskan resign. Terpikir kembali cerita debitur ini. Lalu cerita pada suami setelah punya anak satu, azzahra. Saya ketika itu hendak ingin membuat usaha minimarket. Sat set sat set, alhamdulillah saya sampai juga di titik itu. Minimarket Az-Zahra, resmi dibuka. Swalayan perdana di daerah saya. Dan itu berkembang. Beberapa tahun kemudian, tsah saya jadi bos dengan memiliki beberapa karyawan. Apa jenis bisnis yang tampak dengan konsep modern ini tidak bergengsi untuk seorang ukuran sarjana? Oh, tentu saja waow saat itu, menurut sebahagian orang. Tapi meskipun begitu, saya tampil tetap apa adanya saya. Saya yang dengan keseharian saya dengan kulot pendek, kaos putih, dan rambut dikuncir tinggi adalah tampilan pamungkas saya ketika berdiri di dalam kasir dan di depan timbangan. Menghitung jumlah kardus, plastik, atau rerongsokan yang hendak diangkut kawan bisnis saya hua-ha-ha.

Dulu saya selalu bingung kalau ditanya bu guru setiap belanja di swalayan saya. Apa pekerjaan KS sekarang, nak? Kasir, hiikss. Serasa ngiri sama teman yang dengan enak jawab pegawai, guru, dsb. Sedangkan saya bukan pegawai, barang yang dijual pun seabrek dan saya gatau nama dan harganya, kecuali setelah di scan. Saat Bu guru tanya ayah saya apa kerja saya sekarang, dijawabnya "Direktur KS Family". Ha-ha-ha, saya memicingkan mata tidak percaya. Mana ada direktur pake kaos celana pendek dan rambut dikuncir tinggi serta hampir gak pernah meeting.

Haaa, pas baca koran pagi ayah saya melihat ada pembukaan Teknik Industri untuk jadi PNS. Saya ikut lak tes PNS. Lulus, jadi sibuk. Tapi yang namanya usaha, tetap tapak 8 saya. Usaha tetap saya jalankan meski ga se fokus yang pertama sebelum saya berkarir lagi. Setelah berkarier di pemerintahan. Pergaulan saya berkembang, yang dari pelaku usaha UMKM sampai kepada perusahaan coorporate. Dari sini lah saya makin banyak tahu tentang dunia usaha, baik besar maupun kecil. Yang pada intinya masalahnya sama. Manajemen Usaha dan Dilema regenerasi. Ketika pewaris keluarga enggan melanjutkan usaha keluarga, baik usaha kecil maupun menengah. Tidak ada yang mengembangkan usaha yang ada. Sehingga inilah masalah kita orang Indonesia.

Sedangkan bisnis orang Tionghoa, dari zaman dulu dan masih bertahan sampai sekarang. Itu karena memang fokusnya ke berdagang.
Bangunannya kelihatan mau roboh pun, tapi buset rekeningnya gendut-gendut. Saya tahu, karena suami kerja di perbankan. Dia punya satu debitur, usahanya ini sudah ada sejak saya masih SD. Bangunannya tidak berubah sama sekali sejak saya SD sampai sekarang. Tentu saja saya memperhatikan, karena kebetulan debitur ini tokonya pasti saya lewatin. Usaha debitur ini bertahan sepanjang masa. Meski usahanya yang lain di bidang tak sama, namun usaha perdananya tetap ada sebagai tapak 8nya. Terkadang, anaknya kuliah diluar negeri, tapi setiap saya dan ibu saya ke tokonya, anaknya lah yang paling depan mengurusi usaha itu. Ia tidak mencari kerja. Tetap fokus di usaha keluarganya.

Satu pelajaran lagi yang saya dapat dari mengamati usaha keluarga orang Tionghoa. Salah satu hal yang mesti diperhatikan oleh generasi keduanya dalam mengelola bisnis keluarganya adalah setia pada nilai-nilai luhur atau value perusahaan yang dibangun oleh founding fathers alias para orang tua mereka. Semua "undang-undang" yang dibuat founding fathers dihayati oleh seluruh generasinya, sehingga mempengaruhi arah kebijakan usaha mereka. Ini fakta.

Dan fakta lainnya adalah, bisnis orang Tionghoa terlihat tetap bertahan meskipun usahanya terlihat sepi dan bahkan bangkrut. Kenapa? Sebetulnya ini matematika sederhana. Kalau ia tidak bisa meningkatkan penghasilan, ia turunkan pengeluaran. Sesimpel itu. Orang Tionghoa ketika sedang di fase miskin, rasio pengeluaran terhadap pendapatannya bisa jauh lebih kecil dari kita. Zaman dimana duit di rekening Ibunya masih sisa sekian puluh juta saja, dia sama adiknya langsung diminta untuk berhemat dulu. Sehari-hari cuma makan telur ceplok dengan kecap, itupun telurnya satu dibagi dua ahaha. Yang banyakan dikit hanya nasinya ajaa. Ini adalah fun fact lain. Orang Tionghoa yang duitnya sudah di atas ratus juta hampir pasti menanamkan duitnya ke aset tidak bergerak. Makanya kalau jamet pada malakin orang Tionghoa dan mereka bilang 'nggak ada duit la', mungkin yang bilang gitu nggak bohong-bohong amat karena bisa jadi 80% asetnya adalah aset yang likuiditasnya rendah. Itulah kenapa, orang Tionghoa yang buka usaha walaupun sudah sukses, lebih kalem dan bisa menghargai profesi orang lain. Sedangkan orang awak yang baru saja mulai merintis buka usaha, sering tinggi omongannya dan merendahkan profesi orang lain. Ya kan?

Banyak pelajaran yang didapat dalam hidup yang bisa kita terapkan dalam keluarga kita juga. Saya mau share tentang bagaimana saya berupaya mendorong generasi penerus saya untuk mengasah kemampuannya dalam berkomunikasi, berpikir kritis..., mengelola konflik..., serta beradaptasi dengan berbagai tantangan. Bagaimana caranya? Terlibat dalam usaha keluarga sejak dini.

Saya menyiapkan fasilitas untuk anak-anak agar dapat belajar dan membekali dirinya sebagai penerus usaha keluarga sejak dini. Bila sudah waktunya, akan saya beri kesempatan kepada mereka untuk memimpin proyek-proyek kecil di dalam usaha keluarga. Karena proses ini adalah proses mempersiapkan anak-anak agar dapat melanjutkan usaha saya di masa depan. Proses ini saya rasa penting untuk memastikan keberlanjutan usaha saya besok. Dengan tahapan prosesnya, semacam melibatkan anak dalam usaha saya. Apa saja. Ini dimaksud, untuk menumbuhkan jiwa kepemimpinan anak saya dengan memberinya kesempatan ikut serta didalamnya. Sometimes like this, lihat videoklip!

Saya membangun motivasi anak-anak saya dengan mendorong mereka untuk mengasah kemampuan komunikasi, berpikir kritis, mengelola konflik, serta beradaptasi dengan berbagai tantangan. Dengan begitu saya dapat mengidentifikasi anak, mana yang bisa jadi calon pemilik usaha dan mana yang tepat untuk berkarir di pemerintah. Hehe.

Menceritakan kepada anak, sambil bercengkerama di tempat usaha bapaknya. "Dengar ya, Nak...!!! Saya mengawali perjalanan saya dari sebuah perusahaan keluarga. Lalu, saya belajar ke perusahaan-perusahan besar. Saya mengorbankan sebagian kenikmatan masa muda saya untuk mendirikan sebuah usaha kecil. Hingga suatu ketika, sebuah usaha kecil itu berubah menjadi sebuah perusahaan dengan segala dinamika didalamnya. Dan dikala itu terjadi, saya harus melahirkan generasi penerus yang merupakan kalian anak-anak saya. Dan ayah kalian sebagai pendiri usaha,  pada saat itulah timbul niatnya untuk mendidik anak-anaknya agar kalian berniat dan mampu untuk mengembangkan usaha yang telah didirikan sang ayah. Ayah telah menjalankan dan membuktikan bahwa ia memiliki kemampuan entrepreneurship. Tugas sang ayah adalah mewariskan kemampuan ini kepada anak-anaknya, yaitu pada kalian".

Apa arti semua cerita diatas?  Kemampuan entrepreneurship terbagi menjadi dua bentuk; Seni dan Metode. Contoh kemampuan yang berbentuk seni adalah negosiasi, membaca peluang..., dan mengambil keputusan di tengah tekanan. Sedangkan contoh kemampuan berbentuk metode adalah kemampuan manajerial seperti memperhitungkan biaya, menyusun laporan keuangan, memperhitungkan resiko yang sistematis dimana kemampuan ini dapat kita peroleh dari Pendidikan bisnis formal atau Universitas.

Jadi untuk mewariskan kemampuan tersebut, dibutuhkan moment-moment yang saya design khusus antara lain: You see, I do. Moment dimana sang anak memperhatikan sang ayah saat mengerjakan sesuatu. You do, I do. Moment dimana sang anak bekerjasama dengan sang ayah untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan bersama.

Lalu bagaimana dengan konsep You do, I see? Moment dimana sang anak mengerjakan sesuatu hingga mengambil keputusan dengan sang ayah memperhatikan tanpa berbuat sesuatu. Ini masalah. Secara tidak sadar, moment-moment seperti itu dikerjakan sang ayah bersama dengan karyawan kepercayaannya, sehingga tidak heran karyawan kepercayaan terkadang lebih tepat sebagai penerus perusahaan dibandingkan dengan anaknya. Sang anak pun enggan melanjutkan perusahaan keluarga, karena merasa tidak mampu atau merasa kemampuannya tidak lebih baik dari karyawan kepercayaan sang ayah. Ini yang paling banyak terjadi.

Ahli Pendidikan menggambarkan, pengetahuan yang berbentuk seni adalah pengetahuan yang tidak terstruktur sehingga sulit untuk dijelaskan kepada orang lain. Dan sang Ayahlah yang memiliki modal pengetahuan ini begitu besar. Pengetahuan inilah yang menuntun sang ayah untuk berhasil mendirikan dan mengembangkan sebuah usaha menjadi sebuah perusahaan keluarga kelak. Dan..., bagi generasi penerus, harus memiliki kemampuan ini yang juga merupakan kunci keberhasilan nya dalam meneruskan dan mengembangkan perusahaan keluarga. Kepercayaan diri pun timbul dan membentuk komitmen pada dirinya, sebagai generasi penerus.

Pernah dengar pedagang pasar malam caranya menggaet para orang tua? "Sayang anak...sayang anak....!" . Itu berbahaya sekali itu, wkwkka. Sehingga sering kali para orang tua terlena memanjakan anak. Orang tua yang sayang anak konon katanya akan membelikan semua mainan anak. Sedangkan orang tua yang tidak mau membelikan anaknya mainan yang tidak penting itu, juga bukan berarti tidak sayang anak. Ini hanya tentang bagaimana mendidik anak agar tidak terlalu mengikuti keinginan.

Beberapa orang di dunia ini sepertinya lebih beruntung dan lahir sebagai anak horang kaya ke dunia. Mereka menjalani kehidupan mewah setiap hari. Mulai dari makan di restoran mahal, mengendarai mobil mewah dan akses berlibur kemanapun mereka mau. Namun, tak semua anak horang kaya hanya bermanja-manja dan menikmati kekayaan orang tuanya seumur hidup. Beberapa diantaranya tetap latah dengan keberhasilan ayah dan ibunya bahkan ada juga yang memutuskan jalan sendiri. Lewat bekal pendidikan yang diberikan orang tuanya, sebagian anak horang kaya lebih mengembangkan minat, bakat, dan kemampuannya sendiri. Beberapa dari mereka bahkan mencatat berbagai kesuksesan di bidangnya.

Saya meneliti terus dan mempelajari perkembangan anak-anak saya hingga remaja. Selalu ada videoklip mereka. Ini sangat relate dengan "Episode Ayah Lupa". Besok-besok akan KS tayang ulang. Dan dari penelitian saya itu, saya menemukan bahwa anak-anak yang mampu menunda kepuasannya, akan memiliki penyesuaian psikologis yang lebih baik, orang yang lebih dapat diandalkan, lebih termotivasi, dan sering berhasil sebagai siswa sekolah menengah yang memperoleh nilai  pemahaman hidup yang jauh lebih baik.

Saya beruntung karena leluhur saya pas dateng ke dunniya ini mau bekerja keras, nggak pusing sama tren-tren apapun zaman itu, mau mabuk-mabukan kek, judi kek, pokoknya kalaupun sampai dilakukan sebisanya jangan sampai menguras uang. Kebetulan saya sudah generasi ke-3 kalau dari garis patrilineal. Kakek nenek saya aslinya seorang pelaut tangguh, yang dulunya berkelana kesana-kesana, kemari-kemari. Mereka tak segan-segan menyusuri jalur laut sepanjang aliran sungai kuantan dari kabupaten hulu ke kabupaten hilirnya dan bahkan sampai ia tinggal menetap di Pekanbaru. Mereka bekerja keras seumur hidupnya tanpa tahu yang namanya fun. Ayah saya juga begitu, dan akhirnya garis start saya bisa lebih baik, meskipun progress-nya bisa dikatakan cukup selow. Ehhehe.

"Kapalku mungkin terlalu kecil untuk menghadapi ombak besar. Tetapi aku selalu bangga karena hingga kini aku masih bisa berlayar di tengah derasnya ombak yang kadang membuatku terdampar dan tidak berdaya". Dan hidup..., adalah lautan luas yang tak selalu tenang, dan saya adalah nahkoda bagi perahu kecil yang saya tumpangi.

Pesan Untuk Hari ini;
Kalau kita orang biasa dan punya mimpi bisa jadi sultan, kita harus mikir realistis bahwa kemungkinan besar hal tersebut bisa saja akan tercapai di masa hidup kita. Harus ada manusia di keluarga kita yang memutuskan untuk menggunting rantai kemiskinan. Meski kita mungkin tidak akan merasakan kekayaan seperti sultan, tapi kalau kita memutuskan untuk merubah habit dan bekerja keras dari sekarang, there's a decent chance kalau garis start anak cucu kita bakalan lebih bagus ketimbang kita.

Dalam menyikapi soal kemiskinan, kita juga bisa bilang kalau nggak seharusnya rakyat itu hidup susah. Harusnya ini tanggung jawab pemerintah. Gitu kan? Saya setuju. Tapi kita sebagai rakyat juga harus sudah terlatih dong untuk tidak bergantung sama pemerintah. Jadi itu saran terakhir saya, jangan nunggu pemerintah mengantarkan makanan ke mulut kamu laaah. Mau sampai kapan nunggunya?. Yuk balik lagi ke poin utama: "Kalau kita tidak bisa meningkatkan penghasilan, maka turunkan pengeluaran. Sesimpel itu.

Okehlah gaees...,
Terkadang, kita hanya perlu membuktikan diri pada anak dengan menantang setiap ombak, melawan setiap angin kencang, dan menerjang setiap badai yang menghadang. Namun, kebijaksanaan sejati tidak selalu terletak pada keberanian untuk menghadapi, melainkan pada kejelian untuk memilih pertempuran. Anak yang merakit perahu sendiri jelas beda prosesnya dengan anak yang sudah disiapkan kapal pesiar.

Sekian, episode KS Story kali ini. Semoga bermanfaat.

#KSStory #KSMotivasi
#KSFamily #KSLifestyle
#PejuangMimpi #Episode64
#AnakYangMerakitPerahuSendiri
#JelasBedaProsesnya
#DenganAnakYgSudahDisiapkanKapalPesiar
#Reels #fbpro #fyp #vod