1. Keterbatasan Anggaran
Anggaran pendidikan memang besar secara nominal yaitu minimal 20% dari APBN, akan tetapi realisasinya banyak terserap untuk infrastruktur, birokrasi, dan program lain. Belum tepat sasaran.
Gaji guru, terutama honorer, sering tidak menjadi prioritas utama. Bahkan ada pejabat negara yang jarang datang, lalu digaji sangat besar karena menjadi komisaris di BUMN.
Misalnya gaji Tsamara Amany sebagai Stafsus Menteri BUMN. Selain mengantongi penghasilan dari tugasnya sebagai Komisaris Independen PTPN, Tsamara juga memperoleh gaji dari jabatannya sebagai Stafsus Menteri BUMN.
Contoh gaji Tsamara yang besar, saat ini sedang jadi buah bibir di media sosial, tentu menjadi kecemburuan para guru Indonesia. Sebab gajinya sangat besar daripada guru yang mengajar di depan kelas setiap hari.
Ini jelas membuat kecemburuan sosial. Dengan asumsi setiap orang komisaris mendapatkan jumlah yang sama, maka remunerasi yang diterima Tsamara setiap tahun sekitar Rp2.679.881.428 atau sekira Rp223.323.452 per bulan.
Adanya keterbatasan anggaran itu hanya omong kosong saja kalau melihat gaji para pejabat pemerintah. Harus dievaluasi supaya dana atau anggaran negara tepat sasaran.
2. Sistem Kepegawaian yang Rumit
Banyak guru masih berstatus honorer karena proses pengangkatan menjadi ASN atau PPPK lambat. Akibatnya, gaji mereka disesuaikan dengan kemampuan sekolah atau pemerintah daerah, yang sering kali terbatas.
Gaji guru honor masih tergantung dana BOS yang minim, dan sistem pengangkatan pegawai yang tidak langsung menjadi PNS, tepai menjadi PPPK, pegawai pemerintah dengan Perjanjian Kerja.