Pegiat Literasi Publik, Pro Life Indonesia, Digital Journalism, Pengelola Jakarta News dan Ruang Biblika Kompasiana
Samping Toilet Umum Stasiun Manggarai Jakarta | Menolak Lupa. Menangis dan mengeluarkan air mata karena (i) naik jabatan dan gaji, (ii) marah, (iii) sedih, (iv) dimarahi karena membuat kesalahan, (v) dimarahi karena tidak membuat kesalahan, (vi) karena putus cinta; dan masih banyak penyebab kita, anda dan saya, menangis, (vii) dan, air mata penyesalan; atau menangis dan keluar air mata yang menunjukan bahwa orang menangis tersebut menyesal atas semua perbuatannya.
Menangis (dan mengeluarkan air mata ketika menangis) merupakan sesuatu yang alami pada manusia, semuanya pernah mengalaminya; menangis tak mengenal strata, usia, jabatan, atau pun gender; mengeluarkan air mata pada saat menangis pun sama.
Menangis juga merupakan ekspresi emosi (yang terjadi di/dalam diri) dan perasaan ke/pada orang lain atau siapa pun yang melihat, sedang rasakan, selain juga untuk mengekspresikan emosi.
Air mata juga merupakan mekanisme pertahanan tubuh karena mengandung antibodi, enzim dan komponen kekebalan tubuh lainnya; serta melindungi mata dari mikroorganisme.
Selain itu, umumnya, air mata keluar dari diri kita, bukan saja karena meangis dengan histeris atau pun terisak; namun, 'menangis dalam hati' pun sanggup membuat airmata bercucuran.
Jadi, air mata, bisa merupakan 'suatu pesan dari seseorang' ke/pada siapa pun yang melihatnya. Sehingga bisa disebut bahwa, ada pesan-pesan yang 'tersembunyi' pada saat menangis dan mengeluarkan air mata.
Pesan Kebencian Melalui Tangisan dan Airmata
Airmata mengandung pesan itulah yang sementara dipertontonkan Sang Mantan dan Anaknya. Keduanya menangis, katanya, ada beban hati yang galau dan ungkapan maaf ke rakyat. Juga, menurut Media, tangisan dan airmata penyesalan karena bla, bla, bla, bla, termasuk Pilpres Curang dan Langgar Konstitusi. Keren.
Tapi, apa memang benar seperti itu? Entahlah! Hanya mereka dan Tuhan yang tahu.
Tapi, jika diriku (yang kini lupa menangis) mau sedikit rai-rai (Bahasa Kupang untuk duga-duga), maka tangisan dan air mata Sang Mantan dan Anaknya, adalah
1. Cara Politisi, tepatnya Orang-orang Kalah, yang denial alias menyangkal kekalahan mereka. Mereka tak menerima kekalahan karena ketidakmampuan bertarung dan lawan lebih berkualitas; tapi menolak kalah karena lawan curang, tak fair, and bla bla bla
2. Upaya untuk menarik simpati publik; bahwa mereka telah terzalimi oleh Bla bla bla bla bla
3. Berupaya untuk menarik kembali para pendukung yang tak bersama lagi
Selanjutnya, menurut saya, Tangisan dan Airmata Politik seperti itu Tak Lebih dari Airmata Buaya Politisi serta Ratapan Orang-orang Kalah.
Airmata Buaya yang penuh misteri serta jika ada kesempatan maka mencengkram dengan buas, brutal, mematikan; serta Ratapan meratapi nasib hilangnya nafsu kekuasaaan.
So?
Note
Opa Jappy telah menyajikan sebuah analisis kritis terhadap fenomena tangisan para politisi, khususnya setelah kekalahan dalam suatu kontestasi. "Air Mata Buaya Sang Politisi" memberikan sumbangan yang berharga dalam diskusi tentang politik, psikologi, dan komunikasi. Dengan gaya bahasa yang lugas dan analisis yang tajam, Opa Jappy mengajak pembaca untuk lebih kritis dalam melihat fenomena sosial yang kompleks.
Ada sejumlah "Notes Menarik," antara lain
Universalitas Tangisan. Tangisan adalah ekspresi universal yang tidak mengenal batas sosial atau status. Selain sebagai ekspresi emosi, tangisan juga memiliki fungsi biologis dan sosial. Sekaligus, dapat menjadi sarana komunikasi yang kuat, menyampaikan berbagai pesan, termasuk penyesalan, kemarahan, atau manipulasi.
Tangisan Politisi. Agaknya, Opa Jappy meragukan ketulusan tangisan para politisi, khususnya setelah kekalahan. Dianggap sebagai bentuk pencitraan atau manipulasi publik. Tangisan politisi dilabelkan sebagai "air mata buaya", sebuah metafora yang menggambarkan kepalsuan dan manipulasi.
(Kh. MH, Redaksi JakartaNews)