BEST IN FICTION Kompasiana 2014 AWARD || Culture Enthusiasts || Instagram @rachmatpy #TravelerMadyanger || email: rachmatpy@gmail.com
"Sastra horor adalah karya fiksi yang basisnya budaya" - Yon Bayu Wahyono.
PENAMPILAN teatrikal pembacaan puisi oleh penyair Boyke Sulaiman, (Boy) menarik perhatian seisi aula PDS HB Jassin. Aula, salah satu ruangan Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta menjadi tempat berlangsungnya acara diskusi Sastra Horor yang digelar komunitas Literasi Kompasiana (LitKom) bareng komunitas di TIM, pada Jumat 26 Juli 2024 lalu.
Puisi itu disyairkan beriring suara lonceng besi di tangan Boyke. Membuat suasana larut ke dalam nuansa tema diskusi yakni, horor.
Penampil lain adalah Elisa Koraag, fiksianer Kompasiana yang membawakan puisi Chairil Anwar berjudul "Cerita Buat Dien Tamaela".
Sementara pada akhir acara Pak Puguh, penyair dari Tangerang membawakan puisi karya WS Rendra berjudul "Mastodon dan Burung Kondor."
Puncak acara diskusi menampilkan pemateri utama, Yon Bayu Wahyono, seorang kompasianaer yang saat ini menjadi pemimpin redaksi Pojok TIM. Acara memang digagas olehnya yang risau terhaap nasib sastra horor yang dipandang sebelah mata.
Diskusi sastra horor, merupakan kerisauannya terhadap perkembangan sastra genre horor, yang sering dituding tak bermutu, karya rendahan. Pasalnya sastra horor seringkali mengekplorasi ketakutan, klenik dan mengekploitasi sensusalitas perempuan semata.
Padahal menurutnya, sastra horor adalah karya yang berbasis budaya yang penuh nilai-nilai. Khususnya dalam diskusi, Yon menekankan pada budaya Jawa.
Ia merangkum bahwa sastra horor adalah karya fiksi yang basisnya budaya.
Pembicara pendamping, yakni Ni Made Sri Andani, penulis asal Bangli, Bali menekankan manfaat positif karya sastra horor. Beliau mengajak semua orang pencipta karya sastra horror, untuk memasukkan hal-hal positif dalam setiap karyanya.