Wijaya Kusumah
Wijaya Kusumah Guru

Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Video Pilihan

Media Sosial dan Affan Kurniawan yang Viral Dilindas Mobil Rantis Barakuda Brimob Polisi

2 September 2025   10:05 Diperbarui: 2 September 2025   10:05 254 3 1

Omjay bersama tukang rebusan/dokpri
Omjay bersama tukang rebusan/dokpri

Media Sosial, Protes, dan Demokrasi Digital yang Rapuh. Media Sosial dan Affan Kurniawan yang Viral Dilindas Mobil Rantis Brimob Polisi. Inilah kisah Omjay kali ini di kompasiana tercinta.

Di sebuah sore yang panas di ibu kota, jalanan Jakarta riuh oleh suara knalpot motor dan teriakan massa. Di tengah kerumunan yang berdesak-desakan, sebuah kendaraan barakuda aparat melaju tanpa bisa ditahan. 

Sekejap kemudian, tubuh seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, terjerembab di bawah roda baja. Affan hanya sanggup bertahan sebentar setelah itu meninggal di rumah sakit. Foto dan videonya beredar dengan sangat cepat di media sosial menimbulkan amarah rakyat Indonesia.

Affan bukan siapa-siapa. Ia bukan aktivis mahasiswa, bukan tokoh ormas, apalagi politisi. Ia hanyalah rakyat kecil yang hari itu sedang mencari nafkah. Affan baru saja mengantarkan goofod pesanan pelanggan. Namun, nasibnya berkata lain: tubuhnya tergilas, dan sejarah mencatatnya sebagai simbol.

Hal yang membuat kisah Affan berbeda dengan tragedi-tragedi lain di masa lalu adalah kamera kecil yang ada di genggaman rakyat. Puluhan ponsel merekam detik-detik ketika roda baja menghantam tubuhnya. 


Rekaman singkat 24 detik hingga 3 menit itu beredar ke mana-mana, menembus batas ruang dan waktu. Kita dengan mudah mencarinya di media sosial dari berbagai paltform aplikasi.

Sebelum konferensi pers digelar, sebelum media arus utama menyiapkan naskah redaksi, masyarakat sudah lebih dulu tahu: ada seorang rakyat kecil yang menjadi korban. 

Media sosial bergerak lebih cepat dari negara, lebih gesit dari media, lebih dahsyat daripada pengeras suara di jalanan. Nasib Affan yang dilindas mobil polisi langsung viral dengan cepat ke seluruh dunia.

Dan seperti bara yang disapu angin, amarah pun menjalar. Dari Makassar hingga Medan, dari Yogyakarta hingga Bandung, ribuan orang turun ke jalan. Affan yang sederhana tiba-tiba menjelma simbol solidaritas nasional.

Di sinilah kita menyaksikan wajah baru politik. Tidak lagi terbatas pada ruang parlemen, bukan lagi sekadar hasil rapat kabinet, melainkan ditentukan oleh linimasa handphone yang berdetak di saku kita.

Lima Wajah Baru Protes Era Media Sosial

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Dunia telah mencatat bagaimana media sosial menjadi akselerator sejarah. Ada lima wajah baru protes yang muncul.

1. Kecepatan yang Melampaui Nalar

Dulu, untuk menggalang massa butuh waktu berhari-hari. Kini hanya butuh menit. Aparat kehilangan jeda, pemerintah kehilangan ruang menyiapkan narasi.

Kasus George Floyd di Amerika Serikat menjadi bukti. Video 8 menit 46 detik tentang lehernya yang ditekan polisi menjalar ke lebih dari 2.000 kota di 60 negara. Kecepatan ini ibarat kilat. Bisa menerangi kegelapan, bisa juga membakar nalar sebelum sempat menimbang.

2. Rakyat Kecil Bisa Mengubah Narasi

Dulu, wacana publik dimonopoli oleh media besar atau negara. Kini seorang remaja dengan kamera ponsel bisa menjungkirbalikkan narasi resmi.

Di Nigeria, video penyiksaan aparat yang viral melahirkan gerakan #EndSARS, dengan 48 juta mention dari 5 juta pengguna. Affan di Jakarta adalah contoh nyata: seorang pengemudi ojek online tanpa organisasi, tanpa partai, tanpa panggung, namun suaranya menggema ke seluruh negeri.

3. Emosi Jadi Mesin Penggerak

Media sosial bukan sekadar ruang informasi, tetapi pengeras emosi. Emoji marah, komentar penuh amarah, dan retweet berantai mengubah kesedihan individu menjadi duka kolektif.

Seperti tragedi Parkland di Florida, ketika siswa korban penembakan menyalurkan duka lewat Twitter dan Instagram. Hanya sebulan kemudian, lahirlah gerakan #MarchForOurLives dengan 200 ribu orang memenuhi Washington DC.

4. Dari Lokal Menjadi Global

Protes lokal kini tak lagi terbatas. Media sosial menjadikannya tontonan dunia. Gerakan #BlackLivesMatter yang lahir di Amerika bisa bergema hingga London, Sydney, bahkan Jakarta. Solidaritas lintas bangsa muncul: "Aku melihatmu, aku bersamamu."

5. Bahaya Disinformasi

Namun, ada sisi gelap. Media sosial rapuh, mudah diperalat untuk menyebarkan hoaks. Riset MIT membuktikan, kabar bohong justru menyebar lebih cepat daripada kebenaran.


Contohnya penikaman massal di Southport, Inggris, Juli 2024. Dalam hitungan menit, hoaks bahwa pelaku adalah "pengungsi Muslim" viral. Hasilnya: kerusuhan, masjid diserang, keluarga Muslim yang tak bersalah ikut jadi korban.

Inilah paradoks media sosial: ia bisa menjadi cahaya solidaritas, tapi juga kabut kebencian.

Demokrasi Digital: Harapan dan Kerentanan

Kasus Affan Kurniawan adalah cermin. Ia menunjukkan betapa media sosial memberi rakyat sayap: suara kecil bisa menjelma teriakan nasional. Namun sekaligus, ia mengingatkan rapuhnya demokrasi digital: amarah bisa mendahului nalar, dan kebenaran bisa tenggelam di tengah banjir disinformasi.

Kita sudah melihat bagaimana protes yang bermula dari solidaritas bisa berakhir pada kekacauan. DPRD di Makassar terbakar, pegawai yang tak tahu-menahu ikut tewas. Inilah sisi gelap yang tak bisa diabaikan.

Demokrasi digital adalah medan baru pertempuran. Ia bisa menjadi ruang bagi solidaritas dan keadilan, tapi juga bisa melahirkan kekacauan dan dendam.

Arsitektur Baru yang Kita Butuhkan

Jika kita tak ingin terjebak dalam gelombang yang salah arah, demokrasi digital butuh arsitektur baru:

Pertama. Regulasi Algoritma yang Transparan.

Platform media sosial harus membuka cara kerja algoritma. Jangan sampai mesin lebih suka menyebarkan hoaks hanya karena dianggap "lebih menarik."

Kedua. Kemitraan dengan Fact-Checker Independen.

Pemeriksa fakta harus bekerja sama langsung dengan platform, memberi label atau menghapus hoaks sebelum menyebar terlalu jauh.

Ketiga. Literasi Digital Sejak Dini.

Anak-anak perlu diajari sejak SD cara membedakan fakta dan fitnah, mengenali jebakan judul sensasional, serta berpikir kritis sebelum menekan tombol share.

Dengan tiga langkah sederhana ini, kita bisa mengendalikan api sebelum berubah menjadi kebakaran.

Komentar Omjay, Guru Blogger Indonesia


Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd, atau yang akrab disapa Omjay, Guru Blogger Indonesia, menegaskan bahwa media sosial kini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, termasuk bagi para guru dan siswa.

"Media sosial memang membawa kekuatan dahsyat. Ia bisa membuat orang biasa tiba-tiba menjadi simbol nasional. Tetapi jangan lupa, kekuatan itu ibarat pedang bermata dua. Bisa membangun peradaban, tapi bisa juga menghancurkan," ujar Omjay.

Omjay menambahkan, peran guru sangat penting dalam membekali generasi muda dengan literasi digital. "Sejak di sekolah dasar, anak-anak perlu diajarkan cara menyaring informasi, mengenali hoaks, dan menahan diri sebelum menekan tombol share. Kalau ini tidak dilakukan, kita hanya akan melahirkan generasi yang mudah terbakar amarah, tapi miskin nalar."

Sebagai seorang pendidik yang aktif menulis di blog sejak tahun 2007, Omjay percaya bahwa narasi positif bisa menjadi penyeimbang banjir disinformasi. "Saya selalu mendorong guru untuk menulis di blog atau media sosial. Dengan begitu, kita bisa menyebarkan kebaikan, membangun literasi, dan melawan hoaks dengan cara yang elegan," pungkasnya.

Ajakan Menulis dari Omjay

Sebagai penutup, Omjay mengajak para guru, siswa, dan siapa pun yang peduli pada masa depan bangsa untuk menulis dengan hati.

"Jangan hanya jadi penonton di media sosial. Jadilah pelaku perubahan. Menulislah dengan hati, bukan dengan emosi. Dengan tulisan, kita bisa membangun peradaban, menyalakan harapan, dan menjaga demokrasi tetap waras di era digital ini."


Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay
Guru blogger Indonesia
Blog https://wijayalabs.com

Omjay guru Blogger Indonesia/dokpri
Omjay guru Blogger Indonesia/dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2