Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.
https://www.instagram.com/reel/DOvwdMEjNt1/?igsh=MWI3eHN4OWExc3NkeA==
Omjay menonton video di Instagram di atas. Walikota Prabumulih minta maaf kepada masyarakat Indonesia. Beritanya sempat viral di media sosial karena memecat kepala sekolah SMPN 1 Prabumulih Sumatera Selatan.
Inilah buah dari Meyakiti hati Guru, H Arlan Diperiksa Kemendagri, Ditegur Partai Gerindra Pimpinan Prabowo Subianto.
Omjay (Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd -- Guru Blogger Indonesia) menuliskan kisahnya untuk Kompasiana tercinta.
https://youtu.be/XPFHEXknwT0?si=RCjHG1XatlUzEoAJ
Drama politik dan pendidikan di Prabumulih kini telah menjadi sorotan nasional. H. Arlan, Walikota Prabumulih, tak menyangka keputusannya terkait mutasi kepala sekolah berujung panjang.
Derita karena menyakiti guru benar-benar nyata, sampai membuat Kemendagri ikut turun tangan dan partai Gerindra pun harus memberi teguran. Kita jadi belajar dari kasus ini dan semoga tak terjadi lagi.
Sebagai seorang guru, hati saya Wijaya Kusumah biasa disapa omjay tersayat membaca kisah Kepala SMPN 1 Prabumulih, Roni Ardiansyah. Video perpisahan penuh air mata itu viral di media sosial dan menggugah nurani kita semua. Omjay jadi ikutan sedih dibuatnya. Sebab kepala sekolah tersebut sangat berdedikasi dan berprestasi.
Betapa malang nasib seorang guru yang hanya menegur murid, lalu harus menanggung konsekuensi berat: dicopot dari jabatannya. Apalagi kabar beredar, murid yang ditegur bukan sembarangan, melainkan anak seorang Walikota.
Saya langsung teringat sebuah pepatah Jawa: "Wong pinter kalah karo wong bejo, nanging wong bejo kalah karo wong sing duwe laku."
Orang pintar bisa kalah dengan orang beruntung, tapi orang beruntung tetap kalah dengan orang yang istiqomah dalam kebenaran. Hal itulah yang Omjay dapatkan dari kasus tersebut.
Guru yang menegakkan disiplin adalah orang yang punya laku, punya komitmen menjaga martabat pendidikan. Sayangnya, justru mereka sering jadi korban dari sistem yang lebih berpihak pada kekuasaan.
H. Arlan tentu berusaha membantah. Ia mengatakan mutasi itu hal wajar, bukan karena persoalan anaknya. Namun publik punya logika sendiri. Dengan menonton video di Instagram di atas Omjay jadi tahu sedikit duduk persoalannya.
Semakin keras bantahan, semakin keras pula kecurigaan. Sama halnya ketika seseorang bilang "saya tidak marah," padahal wajahnya merah padam seperti kepiting rebus.
Kini giliran Kemendagri turun tangan. Inspektorat Jenderal memanggil Walikota, Kepala Sekolah, dan pejabat terkait untuk klarifikasi. Itulah buah dari menyakiti hati guru dan kabarnya satpam sekolah juga jadi korbannya.
Partai Gerindra pun tidak tinggal diam. Ketua DPD Gerindra Sumsel, Kartika Sandra Desi, menegur langsung kadernya itu. Sebuah sinyal kuat bahwa urusan pendidikan bukan sesuatu yang bisa disepelekan.
Dalam kasus ini, kita belajar satu hal penting: jangan main-main dengan guru. Guru adalah benteng terakhir akal sehat bangsa.
Jika benteng itu dihancurkan demi gengsi pribadi, kehancuran justru akan berbalik menimpa penguasa. Inilah yang harus dipegang para pemimpin daerah.
Ketua Umum PB PGRI, Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd, pernah menyampaikan pesan tegas:
"Guru harus dilindungi, bukan disakiti. Guru adalah kunci lahirnya generasi emas. Bila guru terus-menerus dilemahkan, jangan harap kita bisa membangun pendidikan bermutu."
Pesan ini sangat relevan dengan kasus di Prabumulih. Ketika seorang guru berani menegur murid, itu bukan tindakan semena-mena, melainkan bagian dari kasih sayang.
Teguran guru adalah doa agar murid tidak salah jalan. Namun, alangkah menyedihkan jika teguran itu justru dibalas dengan mutasi, seolah-olah guru tidak punya harga diri di hadapan kekuasaan.
Saya menjadi teringat perjalanan panjang dunia pendidikan kita. Pernah ada menteri yang harus dicopot karena urusan pendidikan.
Kejadian Itu menjadi pelajaran besar bahwa jabatan hanyalah titipan sementara, sedangkan guru adalah penopang peradaban yang abadi.
Kini publik menunggu hasil pemeriksaan Kemendagri. Apakah H. Arlan akan mendapat sanksi administratif atau sekadar teguran? Kita tunggu saja hasilnya.
Kita tidak tahu. Tapi satu hal pasti: simpati publik sudah berpihak pada guru. Dalam hati masyarakat, doa guru yang terzalimi lebih tajam dari seribu pedang, lebih keras dari palu hukum mana pun.
Sebagai guru dan penulis, saya Wijaya Kusumah - omjay hanya bisa berpesan kepada para penguasa: berhentilah meremehkan guru.
Hargai mereka, dengarkan mereka, dan lindungi mereka. Sebab, jika doa guru sudah melayang ke langit, tak ada tembok kekuasaan yang bisa menahannya.
Mari kita jadikan kasus Prabumulih ini sebagai titik balik. Jangan lagi ada guru yang harus menangis karena mempertahankan martabat profesinya.
Sebaliknya, biarlah guru berdiri tegak sebagai sosok yang dihormati, karena dari merekalah cahaya ilmu menyinari bangsa. Guru adalah insan cendekia yang harus dijaga dan dihormati oleh semua. Tanpa guru kita bisa apa?
Salam Blogger Persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay
Guru blogger Indonesia
Blog https://wijayalabs.com