Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.
Siapa yang Meremehkan Ahli Gizi, Maka Dia Telah Mengabaikan Ilmu: Sebuah Ancaman Serius bagi Kebijakan Pangan Nasional
Pernyataan Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal Saat, yang menyebut bahwa profesi ahli gizi dapat digantikan oleh lulusan SMA yang mengikuti pelatihan tiga bulan, menimbulkan keprihatinan mendalam.
Di tengah upaya nasional memerangi stunting dan meningkatkan mutu pelayanan gizi melalui Program Makan Bergizi Gratis (MBG), pernyataan seperti ini tidak hanya menyesatkan, tetapi juga berpotensi melemahkan fondasi kebijakan pangan yang berbasis ilmu pengetahuan.
Dalam forum terbuka di Bandung, Cucun mengatakan:
"Tidak perlu ahli gizi. Tidak perlu PERSAGI. Latih saja anak SMA tiga bulan, berikan sertifikat BNSP, itu sudah cukup."
Pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin profesi yang memerlukan pendidikan formal, kompetensi ilmiah, dan standar praktik ketat---yang bertujuan melindungi kesehatan publik---dilegitimasi untuk digantikan oleh tenaga non-profesional hasil pelatihan singkat?
Kebutuhan Riil: 20.000 Ahli Gizi, Bukan Tenaga Instan
Program MBG telah dihitung secara matang membutuhkan lebih dari 20.000 ahli gizi tambahan untuk mengawasi 8.000 dapur SPPG di seluruh Indonesia. Angka ini bukan retorika, tetapi hasil kajian akademik dan evaluasi lapangan.
Ahli gizi berperan memastikan:
keamanan pangan,
keseimbangan menu,
kecukupan gizi harian,
pencegahan kontaminasi dan keracunan,
kepatuhan pada standar operasional,
serta evaluasi dampak gizi jangka panjang.
Menggantikan peran ini dengan pekerja tanpa bekal akademik memadai bukan hanya keliru secara metodologis, tetapi juga berisiko menurunkan kualitas layanan yang menyangkut kesehatan anak-anak sekolah.
Pelajaran dari Kasus Keracunan: Pentingnya Kompetensi Ilmiah
Ironisnya, ketika terjadi kasus keracunan makanan dalam pelaksanaan MBG beberapa waktu lalu, pihak yang diminta turun tangan adalah justru para ahli gizi. Mereka diminta mengevaluasi penyebab, menilai risiko kontaminasi silang, serta memastikan SOP di dapur penyedia layanan berjalan sesuai standar.
Dalam kesempatan terpisah, wakil rakyat yang sama pernah mengakui pentingnya ahli gizi. Namun pernyataan terbaru ini menunjukkan kontradiksi yang membingungkan. Kebijakan publik tidak dapat dibangun di atas inkonsistensi, apalagi yang mengorbankan ilmu pengetahuan.
Profesi Ahli Gizi Tidak Dapat Direduksi
Profesi ahli gizi bukan profesi teknis biasa. Mereka menempuh pendidikan sarjana, praktik klinis, uji kompetensi nasional, hingga memegang Surat Tanda Registrasi (STR) yang hanya dapat diperoleh apabila memenuhi standar nasional pelayanan kesehatan.
Kompetensi seorang ahli gizi meliputi:
dietetik klinis,
biokimia gizi,
sanitasi pangan,
manajemen penyelenggaraan makanan,
gizi masyarakat,
epidemiologi gizi,
mitigasi risiko pangan,
dan penilaian status gizi populasi.
Tidak ada satu pun kompetensi tersebut yang dapat dicapai melalui pelatihan singkat.
Pernyataan bahwa tugas ahli gizi dapat dijalankan oleh lulusan SMA yang mengikuti pelatihan tiga bulan berpotensi mengikis penghargaan negara terhadap profesi berbasis keilmuan.
Dampak Jangka Panjang: Ilmu Didegradasi, Kebijakan Rapuh
Negara yang maju adalah negara yang menempatkan keahlian pada tempatnya. Ketika profesi berbasis sains direduksi atau dipinggirkan, maka yang terancam bukan hanya profesinya, tetapi struktur kebijakan publik itu sendiri.
Pernyataan seperti ini memiliki dampak berantai:
1. Melemahkan kepercayaan publik terhadap program nasional.
2. Menurunkan standar keselamatan pangan, terutama pada populasi rentan seperti anak sekolah.
3. Membuka ruang bagi keputusan politik yang tidak berbasis bukti.
4. Mendevaluasi profesi ilmiah, yang pada gilirannya mengurangi minat generasi muda untuk menekuni bidang-bidang strategis.
5. Membahayakan masa depan upaya penurunan stunting, yang menjadi agenda nasional jangka panjang.
Pembangunan bangsa tidak dapat bergantung pada solusi instan yang mengabaikan kompleksitas realitas lapangan.
Mengembalikan Kepercayaan pada Sains dan Profesionalisme
Dalam rancangan kebijakan pangan dan kesehatan masyarakat, para pembuat kebijakan perlu mengedepankan prinsip kehati-hatian, validitas ilmiah, dan penghormatan terhadap profesi yang telah terbukti perannya dalam melindungi masyarakat.
Ahli gizi adalah bagian integral dari sistem kesehatan.
Mereka bukan hanya memastikan makanan terhidang; mereka memastikan masa depan generasi terjamin dari risiko gizi buruk, malnutrisi, hingga keracunan pangan.
Menggantikan mereka dengan tenaga instan bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga sangat berbahaya.
Penutup:
Bangsa yang Menghormati Ilmu Adalah Bangsa yang Menjamin Masa Depannya
Kontroversi ini memberikan pelajaran penting: bahwa pembangunan kebijakan publik harus kembali kepada prinsip dasar, yaitu menghormati ilmu pengetahuan dan profesionalisme.
Program sebesar MBG tidak dapat dipertaruhkan pada pendekatan simplistik. Jangan sampai ambisi politik jangka pendek mengorbankan keselamatan anak-anak Indonesia.
Ahli gizi bukan sekadar profesi; mereka adalah penjaga kualitas bangsa.
Dan bangsa yang meremehkan penjaga masa depannya sedang menempatkan dirinya sendiri dalam bahaya.
Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay
Guru blogger Indonesia
Blog https://wijayalabs.com