Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.

Ketika Guru Menjadi Korban: Antara Fitnah, Kekerasan, dan Tangis Perpisahan di Usia Senja
1 Desember mungkin akan tercatat sebagai hari bersejarah dalam hidup seorang guru bernama Pak Mansur (53). Namun bukan sebagai hari purna bhakti. Bukan pula hari ketika ia menerima penghargaan atau pelepasan penuh hormat dari murid-muridnya.
Hari itu menjadi hari di mana seorang guru harus berpamitan kepada siswa-siswinya...
Untuk menuju kursi pesakitan, bukan panggung penghormatan.
Untuk mendengar putusan sang pengadil dunia, bukan ucapan terima kasih dari anak-anak yang ia didik.
Di halaman sekolah, para murid menangis memeluknya. Guru-guru menahan air mata. Bahkan beberapa orang tua murid berdiri menjadi saksi bisu atas perpisahan yang tidak pernah dibayangkan akan terjadi. Perpisahan yang lahir bukan dari kehormatan, melainkan dari sebuah tuduhan.
Ketika Tuduhan Menghancurkan Kehormatan
Bagi mereka yang benar-benar mengenal Pak Mansur---para muridnya, rekan gurunya, bahkan sejumlah orang tua murid---tuduhan itu terasa janggal. Tak masuk akal. Mereka bersaksi bahwa dalam kesehariannya, Pak Mansur adalah sosok yang lembut, perhatian, dan tulus mendidik.
Salah seorang saksi, yang juga guru di sekolah itu, dengan tegas menyampaikan:
> "Pak Mansur hanya mengelus kepala murid yang sedang sakit. Itu wajar, itu empati, itu sayang seorang guru."
Namun entah bagaimana, tindakan sederhana itu berubah menjadi tuduhan kelam: pelecehan seksual.
Dan sebelum kebenaran sempat berbicara, amarah sudah lebih dulu menguasai keadaan.
Ketika Guru Dianiaya Tanpa Bukti
Yang lebih memilukan, Pak Mansur dikeroyok oleh beberapa orang tua murid yang tersulut emosi:
Kepalanya ditikam kunci mobil hingga luka 10 cm
Dipukul di hadapan murid dan guru
Ditendang kemaluannya
Dihajar tanpa diberi kesempatan membela diri
Ini bukan sekadar kekerasan.
Ini penghinaan terhadap martabat profesi guru.
Dan lebih menyakitkan lagi: kekerasan ini seolah direstui oleh pembiaran. Tidak ada proses hukum bagi para pelaku pengeroyokan. Tidak ada keadilan bagi seorang guru yang babak belur bahkan sebelum pengadilan mengetuk palu.
Keadilan Tidak Butuh Waktu -- Kebenaran Tidak Butuh Pengakuan
Ada kata-kata bijak yang pantas direnungkan:
> "Keadilan itu absolut. Tidak membutuhkan validasi oleh waktu. Cepat atau lambat, ia pasti muncul."
"Kebenaran pun demikian. Ia tidak butuh legalisasi atau pembenaran. Ia akan tiba pada hati orang yang tepat."
Pak Mansur, di usia yang mulai senja, tetap berdiri tegak memandang palu sang hakim. Ia tersenyum, meski hatinya luka. Ia masih menunjukkan attitude seorang guru: tenang, sabar, bermartabat.
Ia percaya bahwa Tuhan tidak pernah memberi ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya.
Dan ia tetap bangga dengan profesinya:
> "Saya minta maaf jika saya banyak salah. Tapi saya tidak melakukan perbuatan itu. Mohon doa agar saya kuat."
Ketika Publik Lupa Bahwa Guru Adalah Fondasi Peradaban
Guru itu seperti mata pedang: selalu diasah, selalu diuji, sering kali dihadapkan pada masalah yang berada di luar nalar.
Namun guru pula yang menjadi pijakan awal bagi setiap orang untuk menentukan masa depan.
Ironis, ketika guru menjadi korban fitnah dan kekerasan, sering kali dunia seolah diam.
Padahal tanpa guru, tidak akan ada dokter, tentara, insinyur, hakim, bahkan presiden.
Pengingat Kasus Luwu: Guru Bisa Dipenjara Padahal Tidak Bersalah
Tragedi seperti ini bukan yang pertama.
Indonesia pernah terluka oleh kasus Luwu, ketika seorang guru dihukum dan dipenjara padahal ia sama sekali tidak bersalah. Setelah bertahun-tahun, barulah kebenaran terungkap.
Jangan biarkan tragedi seperti itu terulang.
Jangan biarkan guru kembali menjadi korban kriminalisasi karena fitnah, emosi, dan ketimpangan kekuasaan.
Saatnya Indonesia Punya Undang-Undang Perlindungan Guru
Sudah terlalu banyak guru yang:
difitnah
dianiaya
dipukul orang tua murid
dikriminalisasi
dihancurkan nama baiknya
dihukum sebelum diperiksa
Indonesia harus memiliki UU Perlindungan Guru yang tegas dan kuat.
UU yang memastikan:
Orang tua yang menganiaya guru dihukum setimpal
Fitnah terhadap guru diproses sebagai kejahatan serius
Guru tidak langsung dikriminalisasi tanpa bukti
Proses hukum melibatkan saksi ahli dan psikolog
Guru mendapatkan pendampingan hukum sejak awal
Keselamatan guru dijamin negara
Guru tidak minta istimewa.
Guru hanya ingin perlindungan yang layak sebagai warga negara.
Seruan Kepada Presiden Prabowo
Di akhir artikel ini, izinkan satu suara jujur dari hati para guru di seluruh Indonesia:
> "Bapak Presiden, tolonglah kami para guru yang difitnah, dianiaya, dan dikriminalisasi oleh orang tua yang punya uang dan kekuasaan. Kami tidak ingin melawan, kami hanya ingin dilindungi. Profesi kami mulia, tetapi kami sering diperlakukan hina."
Kami ingin percaya bahwa negara berpihak pada guru.
Kami ingin percaya bahwa pesan Presiden di Hari Guru Nasional---bahwa guru tidak perlu takut meski menghadapi anak pejabat atau jenderal---bukan sekadar kalimat, tetapi nyata dalam tindakan.
---
Komentar Omjay: Suara yang Tak Bisa Dibungkam
> "Sebagai guru, saya menangis melihat kejadian ini. Jangan biarkan guru menjadi korban fitnah dan kekerasan. Guru harus dilindungi, bukan dihancurkan. UU Perlindungan Guru harus segera hadir. Jika guru runtuh, pendidikan Indonesia ikut runtuh."
Penutup: Lindungi Guru, Selamatkan Masa Depan Bangsa
Jika hari ini kita membiarkan seorang guru dihancurkan oleh fitnah dan kekerasan, maka besok:
tidak ada guru yang berani menyentuh murid yang sakit
tidak ada guru yang berani mendisiplinkan murid
tidak ada guru yang berani dekat dengan anak-anak
tidak ada guru yang berani melindungi murid
Dan pada akhirnya, tidak ada lagi guru yang berani mengajar dengan hati.
Lindungi guru.
Kuatkan guru.
Karena masa depan Indonesia ditentukan oleh mereka.
Salam hormat,
Wijaya Kusumah -- Omjay
Guru Blogger Indonesia
https://wijayalabs.com
