Guru di SMAN 9 Kota Bekasi yang tertarik menulis di Kompasiana. Penulis reflektif, dan pengamat kehidupan sosial sehari-hari. Menulis bagi saya adalah cara merekam jejak, menjaga kenangan, sekaligus mengolah ulang pengalaman menjadi gagasan yang lebih jernih. Saya tumbuh dari kisah pasar tradisional, sawah, dan gunung yang menjadi latar masa kecil di Cisalak-Subang. Kini, keseharian sebagai guru membuat saya dekat dengan cerita murid, dunia pendidikan, serta perubahan sosial yang terjadi di sekitar kita. Di Kompasiana, saya banyak menulis tentang: pendidikan yang manusiawi, dinamika sosial budaya, kenangan kecil yang membentuk cara pandang, serta fenomena keseharian seperti kafe, pasar, hujan, dan keluarga. Saya punya prinsip tulisan yang baik bukan hanya menyampaikan pendapat, tetapi juga mengajak pembaca berhenti sejenak untuk merenung, tersenyum, atau tergerak untuk berubah.
Sebuah tulisan akan lebih bermakna dengan melibatkan perasaan, hati, pengetahuan, dan pemahaman.
Pemahaman dimulai dari memahami diri sendiri baru memahami orang lain.
Tulisan yang melibatkan perasaan akan dengan mudah ditangkap pembacanya, dan merasakan seni yang coba dihadirkan penulisnya.
Seni adalah suatu yang indah dengan mengikuti jalannya masing-masing, sehingga tulisan yang mengikuti hati akan memiliki ruh tersendiri yang merupakan karakter tulisan dari penulisnya yang tidak bisa ditiru orang lain.
- Menulislah dengan ikhlash.
Untuk apa kita menulis? Niatkan menulis dengan ikhlas tanpa pamrih melainkan hanya berniat ibadah dan menyebarkan kebaikan.
Jika kita mempunyai orientasi yang lain seperti pujian misalnya maka tulisan kita menjadi kurang bermutu dan pembaca akan merasakannya.
Dan saat tulisan kita sepi dari pujian maka kita akan badmood bahkan malas untuk menulis.
Berbeda dengan jika menulis semata-mata karena ibadah ingin menebarkan sesuatu yang menghibur, bermanfaat. Dipuji atau tanpa dipuji kita akan terus melaju dengan tulisan kita.
- Who dan do.
Who: siapa yang akan membaca tulisan kita.