Guru di SMAN 9 Kota Bekasi yang tertarik menulis di Kompasiana. Penulis reflektif, dan pengamat kehidupan sosial sehari-hari. Menulis bagi saya adalah cara merekam jejak, menjaga kenangan, sekaligus mengolah ulang pengalaman menjadi gagasan yang lebih jernih. Saya tumbuh dari kisah pasar tradisional, sawah, dan gunung yang menjadi latar masa kecil di Cisalak-Subang. Kini, keseharian sebagai guru membuat saya dekat dengan cerita murid, dunia pendidikan, serta perubahan sosial yang terjadi di sekitar kita. Di Kompasiana, saya banyak menulis tentang: pendidikan yang manusiawi, dinamika sosial budaya, kenangan kecil yang membentuk cara pandang, serta fenomena keseharian seperti kafe, pasar, hujan, dan keluarga. Saya punya prinsip tulisan yang baik bukan hanya menyampaikan pendapat, tetapi juga mengajak pembaca berhenti sejenak untuk merenung, tersenyum, atau tergerak untuk berubah.

Senin sore, 15 Januari 2023 saya memperhatikan Pak Aulia Rahman, S. Pd. dan anak binaannya Songopala tengah sebuk mengeluarkan barang-barang dari ruang kesekretariatan dan mengepaknya ulang. Mengurangi barang (reduce), Memperbaiki barang yang masih bisa diperbaiki untuk digunakan kebali (Reuse), dan memilah barang-barang yang bisa didaur ulang guna bahan baku (Recycle).
Agenda ini rutin dilakukan dalam rentang waktu yang telah ditentukan sesuai dengan agenda eskul ini. Saya terlibat di dalamnya sebagai pembina senior yang telah menjabat pembina songopala dari periode 2007 sampai dengan tahun 2019 dan selanjutnya tongkat pembinaan beralih ke Bapak Aulia Rahman, S. Pd.
Ada sebuah quote pas masuk ruang sekretariatan yang saya saksikan yaitu "Yang di perlukan agar dunia tetap selaras hanyalah bila semua makhluk hidup mengikuti hukum alam"-Paulo L :

Siswa lain sementara masih mengandalkan Caraka (OB) maka Songopala akan mengerjakannya sendiri, bahkan mereka tidak canggung untuk bermandikan peluh dan debu demi menciptakan lingkungan yang asri.

Itulah yang senantiasa kami tanamkan.
Selaras tentang hal itu saya membeli sebuah rumah sederhana dipinggiran kota Bekasi dua tahun yang lalu. Rumah itu begitu semerawut awalnya, dengan tata letak yang tidak karuan.
Sayapun berfikir bagaimana caranya menjadikannya green house minimalist dengan menekan biaya seefektif mungkin, mulai dengan memperbaiki instalasi paralon air yang menonjol disana-sini, ruang garasi yang susah dimasuki kendaraan, sampai suasa gersang tanpa penghijauan sama sekali.
Saya kerjakan semua dengan tenaga sendiri disertai tukang sehingga menghasilkan struktur bangunan yang saya inginkan. Pada umumnya mereka (tukang) hanya punya tenaga dan kurang dalam perhitungan efektifitas biaya dan bahan, apalagi ini adalah sebuah konsep rumah minimalis yang hanya berdiri di tanah seluas 60m persegi.
