Dari petani, kembali menjadi petani. Hampir separuh hidupnya, dihabiskan dalam kegiatan Community Development: bertani dan beternak, plus kegiatan peningkatan kapasitas hidup komunitas lainnya. Hidup bersama komunitas akar rumput itu sangat menyenangkan bagiku.
Sumber: https://www.youtube.com/@gnafanu
Tak banyak orang yang berani mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Namun, Herman Seran, seorang mantan pegiat tambang, justru melangkah dengan berani.
Ia memilih untuk meninggalkan dunia pertambangan. Banting stir menjadi peternak ayam petelur serta menekuni dunia pertanian.
Padahal, dengan keahliannya sebagai seorang geologist dan tamatan S2 dari sebuah Universitas ternama di Australia tentunya membuat dia tak kesulitan untuk menempati posisi manajemen di perusahaan tambang.
Keputusan ini tentu mengejutkan banyak pihak, terutama mereka yang mengenal Herman sebagai sosok yang sudah lama berkecimpung di dunia tambang.
Baginya, pilihan tersebut bukan sekadar coba-coba, melainkan jalan hidup baru yang lebih menjanjikan keberlanjutan.
Awalnya, Herman terjun ke dunia tambang karena dorongan ekonomi. Pertambangan kala itu dianggap sebagai sektor yang bisa cepat mendatangkan keuntungan.
Namun, seiring waktu, Herman mulai merasakan sisi lain, yaitu ketidakpastian, risiko tinggi, hingga dampak lingkungan yang sulit dihindari.
Pandangan itu membuat Herman berpikir ulang. Ia membayangkan masa depan keluarganya dan anak-anaknya.
Apakah ia harus terus bertaruh dengan alam yang semakin terkuras, atau mencari jalan baru yang lebih ramah, stabil, dan memiliki nilai jangka panjang?
Dari situ, pilihan jatuh pada dunia pertanian dan peternakan. Herman mengaku selalu memiliki ketertarikan terhadap bercocok tanam sejak kecil.
Kegemarannya merawat tanaman di halaman rumah menjadi bibit semangat baru yang lama terpendam.
Tidak hanya bertani, Herman juga tertarik pada peternakan ayam petelur. Menurutnya, ayam petelur menawarkan siklus usaha yang relatif cepat.
Permintaan pasar relatif stabil karena telur selalu menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Bahkan ia seringkali tidak dapat memenuih pesanan pelanggan karena kekurangan telur.
Ia mulai dengan modal yang tidak terlalu besar. Membangun kandang sederhana dan membeli sekitar 1.000 ekor ayam petelur.
Herman yang pernah bekerja di Dinas Pertambangan Kabupaten Belu ini belajar dari nol. Ia belajar mengenai pakan, perawatan, hingga manajemen kesehatan ternak. Proses ini tidak mudah, namun justru menantangnya untuk terus belajar.
Keputusan banting stir ini juga menjadi inspirasi bagi banyak anak muda di kampungnya. Herman sering didatangi pemuda yang ingin belajar cara beternak ayam petelur atau menanam sayuran dengan metode sederhana tapi efektif.
Bahkan kini Ia membimbing beberapa siswa dari SMK yang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di peternakan dan lahan pertanian miliknya.
Bagi Herman, beralih dari tambang ke pertanian bukan berarti kehilangan masa depan. Justru ia merasa mendapatkan kehidupan baru yang lebih bermakna, sehat, dan berdaya guna.
Pria yang sudah makan asam garam sebagai seorang geologist ini percaya bahwa pangan akan selalu dibutuhkan manusia, jauh lebih lama dibanding tambang.
Kini, ayah dari 3 anak ini dikenal bukan lagi sebagai pegiat tambang, melainkan sebagai pegiat pertanian dan peternakan yang penuh semangat.
Kisahnya menjadi bukti nyata bahwa banting stir dalam hidup bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan baru menuju kemandirian dan keberlanjutan.***