Gregorius Nafanu
Gregorius Nafanu Petani

Dari petani, kembali menjadi petani. Hampir separuh hidupnya, dihabiskan dalam kegiatan Community Development: bertani dan beternak, plus kegiatan peningkatan kapasitas hidup komunitas lainnya. Hidup bersama komunitas akar rumput itu sangat menyenangkan bagiku.

Selanjutnya

Tutup

Video Pilihan

Generasi Muda Baradatu Ajak Petani Bikin Kompos dari SDA Sekitar

14 September 2025   06:13 Diperbarui: 14 September 2025   06:13 151 10 5


Sumber: YouTube Gregorius Nafanu

Generasi muda yang sedang menjalani praktik kerja lapangan (PKL) kini membawa semangat baru bagi masyarakat. 

Mereka tidak hanya belajar teori di sekolah, tetapi juga langsung terjun memberikan solusi ramah lingkungan

Salah satu kegiatan yang digagas adalah mengajak warga membuat pupuk kompos berbahan dasar sumber daya alam sekitar.

Dari tampilan video, salah seorang siswa PKL bernama Sepianto dari salah satu SMK di Kecamatan Baradatu tampak bersama petani.

Ia memberi penjelasan sekaligus menunjukkan proses membuat pupuk kompos kepada beberapa petani di Kampung Gunung Katun.

Bahan utama yang digunakan cukup sederhana dan mudah ditemukan. Kulit kopi yang biasanya terbuang, kotoran kambing (kohe), cincangan buah, serta sisa sayuran dimanfaatkan kembali sebagai bahan dasar kompos.

Untuk mempercepat proses fermentasi, ditambahkan molase dari gula tebu yang berfungsi sebagai sumber energi bagi mikroorganisme.

Proses pembuatan kompos dimulai dengan mencampur semua bahan organik secara merata. 

Kulit kopi memberikan struktur, kohe kambing menyumbang unsur hara, sedangkan sisa sayuran dan buah menjadi tambahan nutrisi alami. 

Setelah tercampur, bahan ditumpuk di tempat yang teduh dan terhindar dari hujan langsung.

Molase kemudian ditambahkan dalam larutan air dan disiramkan ke tumpukan bahan. 

Tujuannya untuk mempercepat kerja mikroba sehingga proses pengomposan berjalan lebih cepat. 

Tumpukan kompos ini perlu ditutup menggunakan terpal agar suhunya terjaga dan tidak terlalu lembap.

Selama proses fermentasi, tumpukan kompos perlu dibalik setiap 5–7 hari sekali. 

Hal ini dilakukan untuk memberikan oksigen yang cukup dan menjaga bahan agar tidak berbau busuk. 

Biasanya dalam waktu 30–40 hari, kompos sudah matang ditandai dengan warna hitam pekat dan tidak berbau menyengat.

Generasi muda yang memimpin kegiatan ini juga memberikan edukasi langsung kepada warga tentang cara menguji kualitas kompos. 

Kompos yang baik teksturnya remah, tidak terlalu basah, dan aromanya seperti tanah hutan.

Edukasi ini membuat masyarakat semakin yakin untuk menggunakan pupuk organik hasil karya mereka sendiri.

Dalam hal aplikasi, pupuk kompos bisa langsung ditaburkan di sekitar perakaran tanaman.

Kompos juga bisa dicampur dengan tanah sebelum proses tanam agar struktur tanah menjadi lebih gembur. 

Cara ini terbukti efektif meningkatkan kesuburan tanah tanpa harus bergantung pada pupuk kimia.

Masyarakat yang mencoba aplikasi kompos ini pada sayuran dan tanaman buah melaporkan hasil yang positif. 

Tanaman tumbuh lebih sehat, daun lebih hijau, dan hasil panen lebih berkualitas. 

Selain itu, penggunaan kompos juga menekan biaya pertanian karena bahan bakunya berasal dari limbah sekitar.

Kegiatan ini tidak hanya mengajarkan keterampilan praktis, tetapi juga menumbuhkan kesadaran lingkungan. 

Limbah rumah tangga yang sebelumnya terbuang kini berubah menjadi sumber manfaat. 

Generasi muda menjadi motor penggerak perubahan menuju pertanian berkelanjutan.

Belajar membuat kompos dari raw material di sekitar (dok foto: Gregorius Nafanu)
Belajar membuat kompos dari raw material di sekitar (dok foto: Gregorius Nafanu)

Dengan pendekatan sederhana dan gotong royong, praktik kerja lapangan ini memberi inspirasi bahwa kemandirian pangan dan pertanian ramah lingkungan bisa dimulai dari hal kecil. 

Pupuk kompos dari kulit kopi, kohe kambing, sisa buah, sayuran, dan molase menjadi bukti nyata bahwa inovasi bisa lahir dari lingkungan sekitar.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3