Kampung halaman selalu menerbitkan kenangan, khususnya saat lebaran tiba. Tradisi yang lekat dalam kenangan kembali muncul nyata, walau mungkin banyak yang sudah tidak diikuti secara patuh, karena para sesepuh sudah terlalu tua untuk melakukannya, dan generasi di bawahnya tidak merasa perlu melakukannya.
Seperti tradisi megengan sebelum puasa. Megengan adalah tradisi membagikan makanan, biasanya berupa lontong atau ketupat sayur sebelum masuk bulan puasa. Dulu mama saya selalu mengikuti tradisi megengan dan saya termasuk yang diberi tugas membawakan makanan ke tetangga. Sejak mama berhenti memasak karena sepuh dan mengalami kemunduran fisik karena serangan stroke dan demensia, tradisi megengan tak lagi kami lakukan.
Hampir mirip dengan tradisi megengan adalah tradisi perayaan lebaran ketupat yang biasanya dilaksanakan sepekan setelah hari idulfitri. Biasa para tetangga di kampung halaman saya, termasuk mama saya akan sibuk membuat ketupat atau lontong opor dan membagikannya ke tetangga. Sekarang hal inipun tak dilakukan oleh kakak, yang tinggal menjaga mama dan papa saya di kampung halaman.
Kondisinya sekarang memang sudah berbeda. Mama dan papa yang semakin menua, maka prioritasnya adalah menjaga kesehatan mereka dan rutin kontrol kesehatan terutama untuk mama saya yang harus terapi secara rutin untuk fisik dan demensianya. Maka segala tradisi tak ada artinya lagi buat kami.
Salah satu tradisi kampung halaman yang masih ada dan terus hidup adalah tradisi konvoi di malam takbiran. Kampung halaman saya yaitu Kelurahan Tlogomas, setiap malam takbiran selalu melakukan konvoi yang diikuti oleh setiap perwakilan RT. Konvoi selalu melewati rumah saya sehingga hanya dengan berdiri di dalam pagar, sudah dapat mengikuti jalannya konvoi yang meriah sekali.
Malam itu suara riuh sudah terdengar berisik di jalanan, tepatnya di malam takbiran. Suara gema takbir, musik, dan suara petasan bergantian ditingkah suara klakson mobil yang tak sabar karena lajunya dihambat konvoi.
Saya memanggil anak-anak saya untuk ikut menikmati konvoi malam takbiran. Kakak juga keluar. Kami bersama-sama menonton puluhan orang atau mungkin ratusan, berjalan membawa obor sebagai penerangan. Terdapat mobil pick up yang berjalan dengan sound system menggaungkan takbir. Ada bendera-bendera yang dibawa dan dikibar-kibarkan. Ada atraksi petasan dan kembang api. Ada pula bus buatan dari kertas dan bambu yang dijalankan dengan cara didorong sama-sama.
Bus besar yang diberi nama "Tlogosam" dan di bagian depannya adalah tulisannya "Omahmu-Omahku PP", artinya rute bus itu adalah dari rumahmu ke rumahku pulang pergi, wkwkwk. Lucu dan kreatif serta sedikit romantis.
Konvoi malam takbiran ini masih bertahan untuk selalu dilakukan karena merupakan kegiatan kolektif yang dikomandani oleh kelurahan setempat. Semuanya tergantung dari aparat kelurahan. Jika sudah disepakati akan dilaksanakan konvoi, tentunya kesepakatan ini disampaikan kepada masing-masing RT untuk turut berpartisipasi dengan kreativitasnya sendiri-sendiri. Kegiatan ini adalah kesempatan bagi generasi muda kelurahan untuk ikut berpartisipasi menyumbangkan ide konvoi paling menarik dari RTnya. Terakhir, tanpa dimaksudkan untuk membuat macet jalanan, konvoi ini diharapkan berjalan tertib dan bertujuan pada syiar Islam, menyerukan kebahagiaan untuk hari kemenangan yang sudah di depan mata esok harinya.
Tradisi yang ada, yang masih dilakukan maupun yang tidak lagi dilakukan, adalah merupakan proses yang biasa dalam kehidupan. Selama tradisi itu bukanlah perintah agama, maka tak apa jika ia tak lagi dilakukan. Janganlah sebuah tradisi yang dilaksanakan sebatas karena adat-istiadat dan kebiasaan daerah, menjadi belenggu yang mengikat kita. Kalau tidak dikerjakan tak apa-apa dan tidak berdosa.