Saya memulai hidup ini dengan menulis puisi dan cerita pendek, kemudian jadi wartawan, jadi pengelola media massa, jadi creative writer untuk biro iklan, jadi konsultan media massa, dan jadi pengelola data center untuk riset berbasis media massa. Saya akan terus bekerja dan berkarya dengan sesungguh hati, sampai helaan nafas terakhir. Karena menurut saya, dengan bekerja, harga diri saya terjaga, saya bisa berbagi dengan orang lain, dan semua itu membuat hidup ini jadi terasa lebih berarti.
Sunu Wasono sangat akrab dengan para pegiat sastra. Secara akademik, ia Doktor Sastra Indonesia, dosen di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Kali ini, ia berbagi narasi puisi tentang pahlawan dan kepahlawanan. Mari kita cermati.
Mengenal Sekaligus Menghormati
Senin, 14 November 2022 lalu, Komunitas Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) meluncurkan buku antologi puisi 77 Penyair Membaca Pahlawan. Ke-77 penyair tersebut, menuliskan puisi tentang pahlawan dari daerah masing-masing. Juga, menuliskan puisi tentang sosok pahlawan dalam kehidupan pribadi mereka.
Munculah sejumlah nama pahlawan, yang sangat dikenal di wilayah tertentu, tapi belum diketahui oleh masyarakat di wilayah lain. Maemunah Djud Pance, misalnya. Ia adalah perempuan yang berprofesi sebagai guru, kemudian mendirikan Gapris 5.3.1, organisasi militer yang melawan penjajah Belanda dan Jepang.
Masyarakat wilayah Mandar, Majene, Sulawesi Barat, mengenal serta memahami Maemunah Djud Pance sebagai pejuang dan pahlawan kemerdekaan. Ada banyak nama pahlawan lain yang muncul, dari berbagai pelosok tanah air. Karena, yang terhimpun dalam buku antologi puisi 77 Penyair Membaca Pahlawan tersebut, adalah karya para penyair dari berbagai wilayah tanah air.
"Melalui buku ini, kita mengenal para pejuang bangsa, yang selama ini mungkin belum kita ketahui. Ini menjadi jalan bagi masyarakat luas, untuk menghargai serta menghormati jasa-jasa para pahlawan," ujar Sunu Wasono, yang membahas buku tersebut pada saat peluncurannya di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.
Dengan kata lain, ini adalah kontribusi kongkrit para penyair dalam mencatat sejarah perjuangan bangsa. Melalui puisi, mereka menggugah sekaligus menggelorakan spirit para pahlawan, demi menumbuhkan kecintaan kita terhadap negeri ini. Bukankah apa yang kita nikmati kini adalah bagian dari hasil perjuangan para pahlawan?
Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Itu pesan Presiden Soekarno, dalam pidato terakhirnya pada Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia, 17 Agustus 1966. Artinya, buku antologi puisi 77 Penyair Membaca Pahlawan ini, boleh dibilang sebagai penyambung pesan kebangsaan untuk anak-anak bangsa, sebagaimana pidato Presiden Soekarno tersebut.
Ibu, Pahlawan Para Penyair
Dalam hal puisi tentang sosok pahlawan di kehidupan pribadi masing-masing, sosok yang dominan adalah Ibu. "Cukup banyak puisi yang menempatkan Ibu sebagai pahlawan. Metafor yang digunakan pun nyaris mirip. Misalnya, kasih sayang Ibu dan nilai-nilai yang ditanamkan Ibu," ungkap Sunu Wasono.
Secara universal, ke-77 penyair tersebut menarasikan Ibu sebagai pahlawan kehidupan. Sunu Wasono menyadari, di ranah penulisan puisi, sosok Ibu memang kerap menjadi sumber inspirasi para penyair. Agaknya, hal itu sejalan dengan sejumlah studi psikologi yang menunjukkan tingkat kedekatan Ibu dengan anak-anak yang ia lahirkan.
Ibu sebagai pahlawan disebut dominan, karena puisi yang menarasikan Ayah sebagai sosok pahlawan di buku tersebut, relatif minim. Barangkali, ini bisa dikaji lebih jauh. Dari penelusuran saya, pahlawan secara nasional didominasi oleh pria. Ada 185 pria dan 15 perempuan yang telah diangkat pemerintah sebagai Pahlawan Nasional.
Terlepas dari hal tersebut, menurut saya, narasi tentang kepahlawanan dalam wujud puisi, adalah sesuatu yang patut diapresiasi. Langkah kongkrit Komunitas Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) ini perlu dilanjutkan, sebagai bagian dari upaya untuk menyerap spirit para pahlawan yang telah berjasa bagi bangsa ini.
Sunu Wasono mengingatkan, para penyair hendaknya mengeksplorasi lebih dalam, agar puisi-puisi yang diciptakan mampu membangkitkan spirit para pahlawan, sebagai inspirasi untuk generasi selanjutnya. Dengan demikian, puisi tersebut akan menumbuhkan kecintaan yang lebih terhadap bangsa ini.
Dalam konteks pahlawan kekinian, Sunu Wasono mencontohkan sosok Mbah Sadiman (69), warga Dusun Dali, Desa Geneng, Kecamatan Bulukerto, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Mbah Sadiman dengan tekad kuat seorang diri menghijaukan lereng Gunung Lawu bagian selatan. Hasilnya, selain mencegah terjadinya longsor, warga sekitar tak lagi kesulitan mendapatkan air bersih.
Mbah Sadiman sesungguhnya adalah sosok pahlawan, sosok yang berjasa untuk orang banyak. Ia melakukannya seorang diri, secara mandiri. "Orang-orang seperti Mbah Sadiman, merupakan inspirasi bagi para penyair untuk menuliskan spirit kepahlawanannya," ungkap Sunu Wasono. Dengan demikian, diharapkan akan semakin banyak anak-anak bangsa ini yang peduli pada lingkungan.
Jakarta, 17 November 2022